Perubahan pemikiran yang dianut komunitas Muslim yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut salaf atau Salafi, semakin mencolok pasca terjadinya “revolusi Mesir”. Bukan hanya mengoreksi ulang pendapat mereka mengenai demonstrasi dan menyampaikan kritik secara terang-terangan kepada penguasa (baca artikel sebelumnya, Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi), namun pendapat fiqih yang berkenaan dengan masalah pemilu juga tudak luput dari koreksi.
Pada hari Jumat (18/2), sebagaimana dilansir oleh situs berita lokal Mesir, Al Yaum As Sabi’ (19/2), komunitas ini melaksanakan muktamar di Manshurah, Mesir. Awalnya muktamar ini merupakan bentuk dukungan agar UU Pasal 2, yang menyatakan bahwa syari’at adalah sumber hukum Mesir, agar tidak diutak-atik. Namun pembicaraan juga berisi seruan untuk meninjau ulang pandangan mengenai pemilu.
Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”
Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.
Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu. Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”
Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam. Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.
Menurut sebagian komunitas Salafi, mereka ikut pemilu agar jangan sampai posisi penting diduduki ahlul bid’ah yang bisa mengancam Ahlu Sunnah.
Sebelum diturunkannya berita mengenai bolehnya mengikuti pemilu oleh dua tokoh Salafi Yordan, Masyhur Hasan Salman dan Ali Al Halabi, oleh Al Jazeera, beberapa komunitas yang juga mengaku sebagai Salafi telah memilih berpartisipasi dalam pemilu, dan mencalonkan diri sebagai anggota perlemen, walau sebelumnya mereka menolak.
Adalah Tajammu Al Islami As Salafi, komunitas Salafi Kuwait, telah memilih bergabung dalam parlemen. Sebelumnya, komunitas Salafi Kuwait yang saat itu diwakili oleh Jama ah Ihya At Turats menolak mengikuti pemilu pada tahun 1981, dengan alasan bahwa parlemen tidak berhak membuat hukum. Hanya Allah lah yang menentukan hukum, namun setelah itu mereka memilih masuk perlemen sebagaimana tercatat dalam profil peserta pemilu Kuwait yang dipublikasikan oleh koran Al Qabas (11/4/2009).
Akan tetapi, Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain, sebagaimana dipublikasikan dalam situs resminya, alislami.org.
Masih menurut koran Al Qabas, salah satu pijakan yang digunakan oleh komunitas ini dalam mengikuti pemilu adalah fatwa yang menyatakan bolehnya mengikuti pemilu. Menurut fatwa itu, dengan mengikuti pemilu, beberapa posisi penting tidak diduduki oleh orang-orang yang tidak benar dan ahlul bid ah, di mana mereka bisa memaksakan kekuasaan kepada ahli Sunnah dan pihak-pihak yang melakukan perbaikan. Hal ini adalah ancaman yang membahayakan orang-orang baik.
Sebagaimana ditulis dalam situs resminya, alislami.org, organisasi ini bercita-cita mewujudkan perbaikan dalam masyarakat Kuwait, dengan Al Qur`an dan As Sunnah sesuai dengan manhaj salaf as shalih. Dalam pemilu tahun 2008 Tajammu Al Islami As Salafi tercatat memperoleh 4 kursi di parlemen Kuwait.
Selain, At Tajammu , komunitas Salafi di Bahrain, Jam iyah Al Ashalah Al Islamiah, juga mendirikan organisasi politik yang dipimpin oleh Syaikh Adil Al Mu awidah, seorang tokoh Salafi. (sumber: Hidayatullah.com)
Dianut Tokoh Salafi Yordan
Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).
“Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.
Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi
Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan”
Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di KuwaitAt Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen.
Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.
Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.
Berhadapan dengan Realita
Yang dialami Salafi sebenarnya pernah juga dialami oleh Al Ikhwan Al Muslimun di masa awal, dimana akhirnya mereka terjun ke wilayah politik walau sebelumnya menolak. Keputusan itu diambil ketika idealisme yang mereka miliki terpaksa harus berhadapan dengan realita, seperti dikatakan oleh pengamat gerakan Salafi Timur Tengah, Bassam Nashir, sebagaimana dikutip Al Jazeera (26/10)
Syeikh Al Qaradhawi sendiri, sebagaimana dilansir situs resmi beliau, qaradawi.net (22/12), juga pernah menyinggung mengenai perubahan pendangan fiqih komunitas Salafi, khususnya dalam masalah pemilu.
Beliau memandang perubahan ini terjadi karena beberapa faktor,”Tidak diragukan lagi, bahwa realitalah yang mengharuskan mereka berubah. Termasuk di dalamnya, karena persinggungan dengan dunia luar dan keluarnya mereka ke nagara-negara di dunia, setelah sebelumnya banyak dari mereka tidak keluar dari negara-negara mereka, yang menyebabkan tidak adanya perubahan dan pemikiran menuju perubahan.”
Beliau melanjutkan,“Ketika Salafi keluar dan berbaur dengan berbagai bangsa, ia akan mengitropeksi diri. Sebagaima ada yang memperluas bacaannya dan menelaah kitab-kitab yang tidak sempat ditelaah sebelumnya. Manusia bukanlah batu, ada hal-hal yang bisa memberi bekas kepada peribadi seseorang.”
Walhasil, pasca jatuhnya Mubarak, semakin banyak barisan tokoh-tokoh Salafi yang akhirnya setuju dengan pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga sebagian tokoh komunitas ini yang masih memandang bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan perkara yang diharamkan.
(sumber: Hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar