II. Mendapatkan Gambaran Sosok Panutan dalam Seluruh Aspek Kehidupan
Allah telah mentakdirkan bahwa pribadi Rasulullah SAW itu pribadi yang multi dimensi. Beliau bisa berperan menjadi banyak sosok sekaligus. Beliau adalah seorang pemimpin umat, sekaligus menjadi seorang panglima dan tentara yang gagah berani. Di rumah, beliau adalah seorang ayah yang mengasihi dan seorang suami yang amat mencintai istrinya. Beliau pandai mengatur ekonomi, dekat kepada orang lemah dan tidak takut menghadapi para raja. Beliau pandai memberikan pendidikan kepada umatnya serta pemimpin hukum.
Beliau bisa berbicara dengan sekian banyak jenis elemen masyarakat, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Bahkan para jin yang dimensi kehidupannya jauh berbeda dari manusia pun memerlukan berguru kepada beliau.
Katakanlah : "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin , lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang mena'jubkan,(QS. Al-Jin : 1)
Siapapun ilmuwan yang ingin menulis tentang beragam disiplin ilmu, bisa menengok sosok nabi SAW. Karena pada pribadi itu ada sumber ilmu yang tidak pernah kering. Seolah-olah Allah telah menjadikannya sosok yang merupakan gabungan dari sekian banyak ilmuwan, ahli, cendikiawan dan negarawan sekaligus. Bahkan para seniman dan sastrawan pun tidak pernah bisa melepaskan diri dari sosok beliau.
Hal itu dikuatkan oleh kesaksian dari Al-Quran bahwa memang benar dalam diri beliau ada suri tauladan utama yang bisa dijadikan sosok panutan umat manusia.
Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab : 21)
III. Memahami Al-Quran, merasakan Ruh dan Menjelaskan Maksudnya
Sebagaimana kami sebutkan bahwa Al-Quran itu diturunkan ayat per ayat sesuai dengan episode kehidupan Rasulullah. Maka setiap kita masuk ke dalam sirah nabawiyah, otomatis kita pun akan merasakan bagaimana jiwa Al-Quran itu diturunkan. Seolah-olah ayat demi ayat itu turun kepada kita juga manakala kita merasakan kebersamaan dengan sosok beliau di dalam lembar-lembar sejarah.
Akan sulit kita merasakan bagaimana agungnya kitab suci al-quran manakala kita tidak ikut hanyut dalam suasana ketika ayat demi ayat itu mengalir turun. Dan suasana itu adanya hanya di dalam sirah nabawiyah.
Disinilah letak titik perbedaan antara kita dengan para shahabat Rasulullah dalam interaksi mereka terhadap Al-Quran. Mereka saat itu mengalami langsung bagaimana Al-Quran membimbing mereka dalam setiap kesempatan. Mereka mengalami kesan yang sangat kuat terhadap setiap potong ayat yang turun kepada mereka juga. Sehingga wajar bila mereka begitu menghafalnya, menghayatinya dan benar paham apa maksud dari tiap ayat itu.
Sedangkan kita yang hidup di masa sekarang ini, melihat Al-Quran tiba-tiba sudah berbentuk sebuah buku yang tebal, berbahasa arab, terdiri dari 30 juz dan tidak paham makna dan isinya. Maka wajar pula bila apresiasi kita saat ini dengan Al-Quran menjadi jauh di bawah para shahabat. Bahkan lebih parah lagi, kita tidak tahu mengapa dan pada situasi bagaimana tiap ayat itu turun.
Untuk menjembatani semua hal itu, menenggelamkan diri ke dasar sirah nabawiyah bisa membantu kita mendapatkan ruh dari Al-quran pada saat-saat turun. Sebab dengan menetahuinya suasana dan konteksnya, kita pun akan semakin paham apa makna dan latar belakang dari tiap ayat itu. Maka seorang yang menguasai sirah nabawiyah tentunya punya rasa yang sedikit berbeda dengan mereka yang tidak menguasainya. Perasaan bersama dengan ruh Al-quran, semangat dan kehangatannya.
Sebab atmosfir sirah nabawiyah memang masih menyimpang suasana romantisme bersama Al-quran serrta meninggalkan jejak-jejak yang teramat jelas tentang ilmu-ilmu yang dikandung Al-Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar