Rasulullah Saw dilahirkan di tengah Bani Hasyim di Makkah
pada hari senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun gajah[1].
Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim. Ayahnya, Abdullah meninggal ketika
Rasulullah saw berada dalam kandungan usia dua bulan[2].
Setelah Ibunya melahirkan, ia mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan
kepada kakeknya, Abdul Muthalib, dengan membawa pesan “Sesungguhnya telah lahir
untukmu”. Kemudian kakeknya datang penuh suka cita dan membawa Rasulullah saw
ke Ka’bah dan seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dan memilih
nama Muhammad untuk cucunya.
Tradisi di kalangan bangsa Arab, mencari wanita-wanita untuk
menyusui anak-anaknya. Hal ini dilakukan juga menghindarkan anak-anaknya dari
penyakit, agar bayi tumbuh kuat, dan melatih bahasa Arab dengan fasih. Wanita
pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya, Tsuwaibah[3].
Kakeknya, Abdul Muthalib mencari wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr agar menyusui
cucunya, yaitu Halimah binti Abu Dzu’aib. Saudara sesusuan Nabi Saw, dari ibu
susuan Halimah adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisa binti Al-Harits, Hudzafah
atau Judzamah binti Al-Harits yang nama populernya Asy-Syaima’.
Saat itu perkampungan Bani Sa’ad bin Bakr sedang dilanda
musim kemarau sehingga ladang pertanian dan peternakan menjadi kering. Halimah
bersama suaminya Al-Harits bin Abdul Uzza dan anaknya pergi dari negerinya
untuk mencari anak yang dapat disusuinya. Berangkat dengan mengendarai keledai
betina berwarna putih dan onta yang tua dan tidak bisa menghasilkan setetes air
susu. Sepanjang malam Halimah dan suami tidak pernah tidur karena harus
menidurkan anaknya yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Perjalanan
yang panjang dan lama ini menambah kelelahan dan kelaparan halimah, suami dan
anaknya.
Setiap wanita menolak bayi Nabi Muhammad, mereka berpikir apa
yang bisa diharapkan dari ibu dan kakek si bayi. Semua wanita telah memperoleh
bayi susuan, kini tinggal Halimah, Namun apa boleh buat, tidak ada lagi bayi
yang tersisa kecuali Nabi Muhammad, sementara rombongan sudah siap-siap kembali.
Halimah pun tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Berarti tak ada pilihan
lain kecuali membawa bayi yatim itu kembali ke negerinya. “Tidak mengapa
kaulakukan,” ujar al-Harits, suaminya, “Mudah-mudahan Allah jadikan berkah pada
dirinya untuk kita!”
Dibawalah bayi Muhammad di atas tunggangan menuju perkampungan Bani Sa’d bin Bakr[4].
Dibawalah bayi Muhammad di atas tunggangan menuju perkampungan Bani Sa’d bin Bakr[4].
Semenjak bayi itu berada ditangannya,
keluarga Halimah mendapatkan keberkahan. Onta yang tua dan tidak ada air
susunya kini menjadi terisi penuh, bahkan kedelai yang ditunggangi olehnya
berjalan lebih cepat daripada kedelai rombongannya. Hingga tiba di negerinya, kambingnya
datang dalam kenyang dan susunya penuh.
Suatu hari anakku dan Muhammad
bermain-main bersama kambing-kambing kami di belakang tenda kami. Tiba-tiba
anakku datang tergesa-gesa dan berkata, "Anak suku Quraisy itu telah
dibunuh!" Aku dan suamiku segera mencarinya ke belakang rumah. Ia menemui
kami dengan raut wajah yang pucat. Aku dan suamiku bergantian memeluknya.
Beberapa saat kemudian kami bertanya
kepadanya, "Engkau kenapa?" Ia hanya bisa menjawab, "Aku tidak
tahu. Tadi ada dua orang datang kepadaku, lalu keduanya membelah perutku dan
mencucinya."
Mendengar ceritanya itu, suamiku
berkata, "Aku kira anak ini diserang (jin). Segeralah engkau mengembalikan
anak ini kepada keluarganya, sebelum urusannya semakin besar saat berada di
sini." Suamiku terus mendesakku untuk berangkat ke Makkah. Atas desakan
itu, aku segera membawanya kepada ibunya.
"Sebagai ibu susuannya, aku telah
menyapihnya. Aku khawatir ia terkena musibah, untuk itu terimalah ia kembali.”
Ibunya bertanya, "Kenapa engkau
tidak ingin merawatnya lebih lama? Bukankah dahulu engkau meminta kepadaku agar
ia engkau bawa saja? Mungkin engkau mengkhawatirkan setan menyerang anakku ini.
Janganlah khawatir, anakku ini dilindungi dari setan. Aku akan memberitahukan
kepadamu, saat aku melahirkannya, aku melihat dari tubuhku keluar sebuah cahaya
yang menerangi istana-istana Bushra di negeri Syam.[5]"
Peristiwa pembelahan dada itu membuat khawatir Halimah
terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikan ke pangkuan ibunya.
Kemudian ibunya mengajak Nabi Saw, disertai pembantu wanitanya Ummu Aiman,
pergi dari Makkah dan Abdul Muthalib mendukung hal. Kepergian ini untuk
berkunjung ke paman-pamannya dari jalur ibunya di Bani Adi bin An-Najjar
dan kuburan suaminya di Yastrib. Setelah
menetap di Yastrib selama sebulan, Aminah dan rombongan bersiap-siap kembali ke
Makkah. Dalam perjalanan pulang, ibunda Nabi Saw jatuh sakit dan akhirnya
meninggal dunia di Abwa[6].
Kemudian Nabi saw kembali ke pangkuan kakeknya, Abdul
Muthalib di Makkah. Mendidik, merawatnya dengan penuh kasih sayang, dan dia
tidak ingin cucunya hidup sebatang kara, bahkan dia lebih mengutamakan cucunya
daripada anak-anaknya.
Ketika Nabi saw berusia delapan tahun, Abdul Muthalib
meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muthalib berwasiat agar
pengasuhan Nabi saw diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak
beliau.
Setelah Abdul Muthalib meninggal dunia, Nabi saw ikut bersama
pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib melaksanakan hak anak saudaranya dengan
sepenuhnya dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Bahkan lebih mementingkan
beliau ketimbang anak-anaknya.
Ketika Nabi saw menginjak usia dua belah tahun, paman beliau
hendak pergi ke syam untuk urusan dagang. Melihat pamannya hendak pergi, Nabi
saw meminta ikut bersama beliau. Abu Thalib juga tidak tega meninggalkan
beliau. Maka ia berkata, “Demi Allah, aku pasti membawanya pergi , ia tidak
boleh berpisah denganku dan aku tidak boleh berpisah dengannya selama-lamanya”.
Kemudian berangkatlah Abu Thalib dan Nabi saw bersama
rombongan ke syam. Tibalah di daerah Busra[7],
ternyata di sini terdapat pendeta Buhaira[8].
Ketika tiba di sini, pendeta menghampiri
mereka dan memperilahkan mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu
kehormatan. Hal ini dilakukan, karena Buhaira melihat awan menaungi Nabi saw
dan tidak menaungi orang-orang Quraisy.
Di saat jamuan berlangsung, Buhaira memeluknya dan
mendudukkannya bersama rombongan Quraisy lainnya. Ia melihat dan memperhatikan
Nabi saw dengan seksama serta memperhatikan sekujur tubuh beliau. Ia melihat
tanda kenabian[9]
ada di antara kedua pundak persis seperti sifat beliau yang ia ketahui. Kemudian
Buhira menasehat agar Abu Thalib membawa Nabi saw pulang ke Makkah, karena ia
takut akan gangguan dari pihak orang-orang Yahudi[10].
Sepulang dari berdagang dengan pamannya, Nabi
saw berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing[11].
Selama itu pula, Nabi saw di jaga oleh Allah dari kebiasaan anak-anak muda yang
seusianya.
Ketika aku sampai pada
rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian, maka aku bertanya, ‘Apa
ini?’, Mereka berkata, ‘ini pesta.’ Lalu aku duduk mendengarkannya. Tetapi
kemudian Allah memnutup telingaku, lalu aku tertidur dan bangun pada waktu
panas matahari mengenaiku. Kemudian di hari selanjutnya aku melakukan hal yang
sama, namun Allah memberikan kejadian yang sama pula. Setelah itu, aku tidak
pernah menginginkan lagi[12].
Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, Pada masa
kecilku, aku bersama anak-anak kecil Quraisy mengangkat batu untuk satu
permainan yang biasa dilakukan anak-anak. Semua dari kami telanjang dan
meletakan bajunya di pundaknya (sebagai ganjalan) untuk memikul batu. Aku maju
dan mundur bersama mereka, namun tiba-tiba seseorang yang belum pernah aku
lihat sebelumnya menamparku dengan tamparan yang amat menyakitkan. Ia berkata, ‘kenakan
pakaianmu.’ Kemudian aku mengambil pakaianku memakainya. Setelah itu, aku memikul
batu diatas pundakku dengan tetap mengenakan pakaian dan tidak seperti
teman-temanku.”[13].
Kemudian meletuslah perang Fijar. Peperangan ini terjadi,
kedua kampung Kinanah dan Qais Ailan telah menghalalkan hal-hal yang telah
diharamkan pada mereka. Panglima perang Kinanah adalah Harb bin Umayyah bin
Abdu Syam. Pada pagi hari kemenangan di raih oleh pasukan Qias Ailan, namun di
siang hari kemenangan beralih ke tangan Kinanah. Saat itu Rasulullah bertugas
sebagai pengumpul anak-anak panah bagi paman-paman beliau.
Wallahu
alam bishowab..
Sumber
Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam, Darul Falah
Sirah
Nabawiyah, Syaikh Ramadhan Al Buthy, Robbani Press
Sirah
Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar
[1]
Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam edisi terjemahan 1/131. Ada perbedaan tentang
penentuan tanggal, Syaikh Shafiyurrahman mengatakan dalam bukunya tanggal 9
Rabi’ul Awwal. Syaikh Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya mengatakan, riwayat yang
paling kuat 12 Rabi’ul Awwal. Dan ada perbedaan pula di tahun Masehi yakni
tanggal 20 atau 22 April. Ini menurut penelitian Muhammad Sulaiman dan Mahmud
Basya.
[2] Lihat sirah nabawiyah, karangan Syaikh
Ramadhan Al-Buthi, halaman 30.
[3]
Adalah hamba sahaya Abu Lahab. Abu Lahab termasuk orang yang bahagia dengan
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saking sukanya terhadap Nabi Muhammad, menjodohkan
anaknya dengan anak Nabi Muhammad. Saudara sesusuannya Hamzah bin Abdul
Muthalib, Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.
[4]
Ringkasan dari http://asysyariah.com/asysyaima-bintu-al-harits.html
[5]
Ringkasan dari http://arrahmah.com/read/2012/07/20/21737-mutiara-hikmah-dari-panggung-sejarah-islam-1-kesucian-jiwa-modal-utama-penghambaan-diri.html
[6]
Daerah antara Yastrib (Madinah) dan Makkah. Usia Nabi saw pada waktu itu baru
enam tahun.
[7]
Sudah termasuk syam dan merupakan ibukota Hauran, saat itu masuk wilayah
kekuasaan bangsa Romawi.
[8]
Nama aslinya Jurjis. Ia menjadi rujukan umat nasrani.
[9]
Tanda kenabian menurut Ibnu Hisyam seperti bekas bekam. Tanda kenabian yang
lain stempel nubunwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya, yang
menyerupai buah apel, bebatuan dan pepohonan pun tunduk bersujud.
[10]
Ibnu Ishaq berkata, ‘banyak orang mengatakan Zurair, Tammam, dan Daris, mereka
adalah Ahli KItab’. Ketiganya berusaha
memmbunuh Nabi saw walaupun Buhaira berusaha melindungi Nabi saw dan menasehati
ketiganya akan kebenaran dalam kitab mereka. Hingga akhirnya mereka membenarkan
ucapan Buhaira dan membatalkan niatnya membunuh Nabi saw.
[11]
Dalam sebuah riwayat Ibnu Ishaq berkata, Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak ada
satu pun melainkan ia menggembalakan kambing, Ditanyakan kepada beliau,
“Termasuk engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Ya, termasuk
aku”.’
Dalam riwayat Imam
Bukhari, Rasulullah bersabda, ‘Aku dulu menggembalakan kambing penduduk Makkah
dengan upah beberapa qirath’. Satu qirath
[12]
Diringkas dari Fiqhuh Sirah, 1/34; diriwayatkan oleh Ibnul Atsir dan Hakim dari
Ali bin Abi Thalib dan riwayat Thabrani dari Ammar bin Yasir.
[13]
Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam 1/152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar