Selasa, 02 Oktober 2012

MASA KELAHIRAN SAMPAI MASA REMAJA


Rasulullah Saw dilahirkan di tengah Bani Hasyim di Makkah pada hari senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun gajah[1]. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim. Ayahnya, Abdullah meninggal ketika Rasulullah saw berada dalam kandungan usia dua bulan[2]. Setelah Ibunya melahirkan, ia mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada kakeknya, Abdul Muthalib, dengan membawa pesan “Sesungguhnya telah lahir untukmu”. Kemudian kakeknya datang penuh suka cita dan membawa Rasulullah saw ke Ka’bah dan seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dan memilih nama Muhammad untuk cucunya.
Tradisi di kalangan bangsa Arab, mencari wanita-wanita untuk menyusui anak-anaknya. Hal ini dilakukan juga menghindarkan anak-anaknya dari penyakit, agar bayi tumbuh kuat, dan melatih bahasa Arab dengan fasih. Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya, Tsuwaibah[3]. Kakeknya, Abdul Muthalib mencari wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr agar menyusui cucunya, yaitu Halimah binti Abu Dzu’aib. Saudara sesusuan Nabi Saw, dari ibu susuan Halimah adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisa binti Al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits yang nama populernya Asy-Syaima’.
Saat itu perkampungan Bani Sa’ad bin Bakr sedang dilanda musim kemarau sehingga ladang pertanian dan peternakan menjadi kering. Halimah bersama suaminya Al-Harits bin Abdul Uzza dan anaknya pergi dari negerinya untuk mencari anak yang dapat disusuinya. Berangkat dengan mengendarai keledai betina berwarna putih dan onta yang tua dan tidak bisa menghasilkan setetes air susu. Sepanjang malam Halimah dan suami tidak pernah tidur karena harus menidurkan anaknya yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Perjalanan yang panjang dan lama ini menambah kelelahan dan kelaparan halimah, suami dan anaknya.
Setiap wanita menolak bayi Nabi Muhammad, mereka berpikir apa yang bisa diharapkan dari ibu dan kakek si bayi. Semua wanita telah memperoleh bayi susuan, kini tinggal Halimah, Namun apa boleh buat, tidak ada lagi bayi yang tersisa kecuali Nabi Muhammad, sementara rombongan sudah siap-siap kembali. Halimah pun tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Berarti tak ada pilihan lain kecuali membawa bayi yatim itu kembali ke negerinya. “Tidak mengapa kaulakukan,” ujar al-Harits, suaminya, “Mudah-mudahan Allah jadikan berkah pada dirinya untuk kita!”
Dibawalah bayi Muhammad di atas tunggangan menuju perkampungan Bani Sa’d bin Bakr[4].


Semenjak bayi itu berada ditangannya, keluarga Halimah mendapatkan keberkahan. Onta yang tua dan tidak ada air susunya kini menjadi terisi penuh, bahkan kedelai yang ditunggangi olehnya berjalan lebih cepat daripada kedelai rombongannya. Hingga tiba di negerinya, kambingnya datang dalam kenyang dan susunya penuh.
Suatu hari anakku dan Muhammad bermain-main bersama kambing-kambing kami di belakang tenda kami. Tiba-tiba anakku datang tergesa-gesa dan berkata, "Anak suku Quraisy itu telah dibunuh!" Aku dan suamiku segera mencarinya ke belakang rumah. Ia menemui kami dengan raut wajah yang pucat. Aku dan suamiku bergantian memeluknya.
Beberapa saat kemudian kami bertanya kepadanya, "Engkau kenapa?" Ia hanya bisa menjawab, "Aku tidak tahu. Tadi ada dua orang datang kepadaku, lalu keduanya membelah perutku dan mencucinya."
Mendengar ceritanya itu, suamiku berkata, "Aku kira anak ini diserang (jin). Segeralah engkau mengembalikan anak ini kepada keluarganya, sebelum urusannya semakin besar saat berada di sini." Suamiku terus mendesakku untuk berangkat ke Makkah. Atas desakan itu, aku segera membawanya kepada ibunya.
"Sebagai ibu susuannya, aku telah menyapihnya. Aku khawatir ia terkena musibah, untuk itu terimalah ia kembali.”
Ibunya bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin merawatnya lebih lama? Bukankah dahulu engkau meminta kepadaku agar ia engkau bawa saja? Mungkin engkau mengkhawatirkan setan menyerang anakku ini. Janganlah khawatir, anakku ini dilindungi dari setan. Aku akan memberitahukan kepadamu, saat aku melahirkannya, aku melihat dari tubuhku keluar sebuah cahaya yang menerangi istana-istana Bushra di negeri Syam.[5]"
Peristiwa pembelahan dada itu membuat khawatir Halimah terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikan ke pangkuan ibunya. Kemudian ibunya mengajak Nabi Saw, disertai pembantu wanitanya Ummu Aiman, pergi dari Makkah dan Abdul Muthalib mendukung hal. Kepergian ini untuk berkunjung ke paman-pamannya dari jalur ibunya di Bani Adi bin An-Najjar dan  kuburan suaminya di Yastrib. Setelah menetap di Yastrib selama sebulan, Aminah dan rombongan bersiap-siap kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang, ibunda Nabi Saw jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa[6].
Kemudian Nabi saw kembali ke pangkuan kakeknya, Abdul Muthalib di Makkah. Mendidik, merawatnya dengan penuh kasih sayang, dan dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara, bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.
Ketika Nabi saw berusia delapan tahun, Abdul Muthalib meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muthalib berwasiat agar pengasuhan Nabi saw diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.
Setelah Abdul Muthalib meninggal dunia, Nabi saw ikut bersama pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib melaksanakan hak anak saudaranya dengan sepenuhnya dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Bahkan lebih mementingkan beliau ketimbang anak-anaknya.
Ketika Nabi saw menginjak usia dua belah tahun, paman beliau hendak pergi ke syam untuk urusan dagang. Melihat pamannya hendak pergi, Nabi saw meminta ikut bersama beliau. Abu Thalib juga tidak tega meninggalkan beliau. Maka ia berkata, “Demi Allah, aku pasti membawanya pergi , ia tidak boleh berpisah denganku dan aku tidak boleh berpisah dengannya selama-lamanya”.
Kemudian berangkatlah Abu Thalib dan Nabi saw bersama rombongan ke syam. Tibalah di daerah Busra[7], ternyata di sini terdapat pendeta Buhaira[8]. Ketika tiba di sini, pendeta menghampiri  mereka dan memperilahkan mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Hal ini dilakukan, karena Buhaira melihat awan menaungi Nabi saw dan tidak menaungi orang-orang Quraisy.
Di saat jamuan berlangsung, Buhaira memeluknya dan mendudukkannya bersama rombongan Quraisy lainnya. Ia melihat dan memperhatikan Nabi saw dengan seksama serta memperhatikan sekujur tubuh beliau. Ia melihat tanda kenabian[9] ada di antara kedua pundak persis seperti sifat beliau yang ia ketahui. Kemudian Buhira menasehat agar Abu Thalib membawa Nabi saw pulang ke Makkah, karena ia takut akan gangguan dari pihak orang-orang Yahudi[10].
    Sepulang dari berdagang dengan pamannya, Nabi saw berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing[11]. Selama itu pula, Nabi saw di jaga oleh Allah dari kebiasaan anak-anak muda yang seusianya.
Ketika aku sampai pada  rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian, maka aku bertanya, ‘Apa ini?’, Mereka berkata, ‘ini pesta.’ Lalu aku duduk mendengarkannya. Tetapi kemudian Allah memnutup telingaku, lalu aku tertidur dan bangun pada waktu panas matahari mengenaiku. Kemudian di hari selanjutnya aku melakukan hal yang sama, namun Allah memberikan kejadian yang sama pula. Setelah itu, aku tidak pernah menginginkan lagi[12].
Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, Pada masa kecilku, aku bersama anak-anak kecil Quraisy mengangkat batu untuk satu permainan yang biasa dilakukan anak-anak. Semua dari kami telanjang dan meletakan bajunya di pundaknya (sebagai ganjalan) untuk memikul batu. Aku maju dan mundur bersama mereka, namun tiba-tiba seseorang yang belum pernah aku lihat sebelumnya menamparku dengan tamparan yang amat menyakitkan. Ia berkata, ‘kenakan pakaianmu.’ Kemudian aku mengambil pakaianku memakainya. Setelah itu, aku memikul batu diatas pundakku dengan tetap mengenakan pakaian dan tidak seperti teman-temanku.”[13].
Kemudian meletuslah perang Fijar. Peperangan ini terjadi, kedua kampung Kinanah dan Qais Ailan telah menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan pada mereka. Panglima perang Kinanah adalah Harb bin Umayyah bin Abdu Syam. Pada pagi hari kemenangan di raih oleh pasukan Qias Ailan, namun di siang hari kemenangan beralih ke tangan Kinanah. Saat itu Rasulullah bertugas sebagai pengumpul anak-anak panah bagi paman-paman beliau.

Wallahu alam bishowab..   

Sumber
Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Darul Falah
Sirah Nabawiyah, Syaikh Ramadhan Al Buthy, Robbani Press
Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar


[1] Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam edisi terjemahan 1/131. Ada perbedaan tentang penentuan tanggal, Syaikh Shafiyurrahman mengatakan dalam bukunya tanggal 9 Rabi’ul Awwal. Syaikh Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya mengatakan, riwayat yang paling kuat 12 Rabi’ul Awwal. Dan ada perbedaan pula di tahun Masehi yakni tanggal 20 atau 22 April. Ini menurut penelitian Muhammad Sulaiman dan Mahmud Basya.
[2]  Lihat sirah nabawiyah, karangan Syaikh Ramadhan Al-Buthi, halaman 30.
[3] Adalah hamba sahaya Abu Lahab. Abu Lahab termasuk orang yang bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saking sukanya terhadap Nabi Muhammad, menjodohkan anaknya dengan anak Nabi Muhammad. Saudara sesusuannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.
[4] Ringkasan dari http://asysyariah.com/asysyaima-bintu-al-harits.html
[5] Ringkasan dari http://arrahmah.com/read/2012/07/20/21737-mutiara-hikmah-dari-panggung-sejarah-islam-1-kesucian-jiwa-modal-utama-penghambaan-diri.html
[6] Daerah antara Yastrib (Madinah) dan Makkah. Usia Nabi saw pada waktu itu baru enam tahun.
[7] Sudah termasuk syam dan merupakan ibukota Hauran, saat itu masuk wilayah kekuasaan bangsa Romawi.
[8] Nama aslinya Jurjis. Ia menjadi rujukan umat nasrani.
[9] Tanda kenabian menurut Ibnu Hisyam seperti bekas bekam. Tanda kenabian yang lain stempel nubunwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel, bebatuan dan pepohonan pun tunduk bersujud.
[10] Ibnu Ishaq berkata, ‘banyak orang mengatakan Zurair, Tammam, dan Daris, mereka adalah Ahli KItab’.  Ketiganya berusaha memmbunuh Nabi saw walaupun Buhaira berusaha melindungi Nabi saw dan menasehati ketiganya akan kebenaran dalam kitab mereka. Hingga akhirnya mereka membenarkan ucapan Buhaira dan membatalkan niatnya membunuh Nabi saw. 
[11] Dalam sebuah riwayat Ibnu Ishaq berkata, Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak ada satu pun melainkan ia menggembalakan kambing, Ditanyakan kepada beliau, “Termasuk engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Ya, termasuk aku”.’
   Dalam riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, ‘Aku dulu menggembalakan kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath’. Satu qirath
[12] Diringkas dari Fiqhuh Sirah, 1/34; diriwayatkan oleh Ibnul Atsir dan Hakim dari Ali bin Abi Thalib dan riwayat Thabrani dari Ammar bin Yasir.
[13] Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam 1/152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar