Sabtu, 28 Mei 2011

Fatwa Tentang Partisipasi Dalam Pemerintahan Non Islami


“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang kasus seorang yang dipercaya memegang jabatan, dengan syarat ia harus memberikan uang pelicin kepada penguasa sebagai mana biasanya terjadi. Orang tersebut memiliki komitmen tinggi untuk memberantas semua kezaliman, dan ia akan berusaha keras untuk memperjuangkannya semaksimal kemampuannya. Ia yakin, jika jabatan itu ditolak dan diserahkan kepada pihak lain, kezaliman akan tetap ada bahkan semakin merajalela. Dan ia juga yakin uang pelicin itu pasti ada manfaatnya sehubungan dengan banyaknya tugas yang tidak mungkin ia jalankan sendiri.
Pertanyaannya adalah :
Apakah boleh ia menerima jabatan kekuasaan dengan memberi uang pelicin seperti itu, sementara ia punya tekad mulia hendak memberantas kezaliman sekuat mungkin? Ataukah ia harus menolaknya dengan konsekuensi kedzaliman tetap masih ada bahkan semakin menggila (merajalela) di wilayahnya? Ataukah ia harus bertahan seperti yang saya kemukakan sebelumnya? Apakah ia dosa melakukan hal tersebut dosa atau tidak? Mana diantara dua pilihan yang baik untuknya, terus berjuang membasmi kezaliman habis-habisan atau setidaknya menekan sekecil mungkin, atau ia angkat tangan saja melepaskan dengan konsekuensi kedzaliman tetap ada bahkan semakin parah?


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab:
Alhamdulillah. Ya. Jika Dia bersungguh – sungguh menegakkan keadilan dan bermaksud memberantas kezaliman sekuat mungkin, dan ia pun merasa lebih baik jabatan ia pegang daripada dipercayakan kepada orang orang lain, maka ia boleh menerima dan terus menerima jabatan itu. Ia tidak berdosa kerena memberi uang pelicin itu, bahkan mempertahankan itu lebih baik baginya daripada melepaskan, dengan syarat ia sedang tidak sibuk dengan pekerjaan yang lebih utama (memberantas kedzaliman).
Justru hal itu menjadi wajib baginya, jika tidak ada orang lain yang sanggup melaksanakannya. Menyebarkan keadilan dan memberantas kezaliman merupakan fardhu kifayah yang harus dilakukan oleh setiap orang sesuai kemampuannya, jika memang tidak ada orang lain yang mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, ia tidak boleh dituntut atas ketidakmampuannya membasmi kezaliman.
Adapun mengenai tugas – tugas yang ditetapkan penguasa dan tidak sanggup dilaksanakannya, ia tidak harus dituntut. Dan apabila penguasa dan anak buahnya menuntut sejumlah harta yang tidak bisa ia penuhi, kecuali dengan melakukan sebagian tugas – tugas tersebut, maka ia boleh melakukannya (yakni memberikan harta itu). Sebab, jika ia tidak memberikannya, maka jabatan itu akan diserahkan kepada orang yang tidak bisa diharapkan mampu menghilangkan kezaliman bahkan memperparah keadaan. Dengan demikian menerima sebagian tugas tersebut dan menyerahkan sebagian harta kepada mereka atau para pejabat bawahannya lebih bermanfaat bagi kaum muslimin daripada melepaskan semuanya.
Demikian itu, karena ia merasa yakin lebih bisa menegakkan keadilan dan berbuat kebajikan dibanding yang lain, kendati pun untuk ia harus membayar kepada penguasa atau wakilnya. Dan jika ternyata ia tidak mampu membasmi kejahatan tetapi ia tetap berlaku baik dan memperjuangkan kepentingan kaum muslimin, bukan mendzalimi mereka, maka ia tetap dapat pahala. Ia tidak berdosa dengan harta yang telah ia ambil, dan ia juga tidak berdosa atas harta yang ia berikan. Bahkan ia tidak berdosa baik dunia dan akhirat, asalkan ia sungguh – sungguh memeperjuangkan keadilan dan menyebarkan keadilan. Hal ini, seperti orang yang disuruh mengurus harta anak yatim atau orang yang dipercaya untuk mengurus tanah wakaf atau orang bekerja dalam akad mudharabah atau orang yang bekerja sama dengan orang lain, atau oarang yang bekerja untuk orang lain sebagi penguasa atau perwakilan. Jika demi kemaslahatan mereka, maka ia harus mengambil sebagian harta mereka untuk diberikan kepada orang zalim yang sanggup melakukannya, ia tetap dianggap telah melakukannya dengan baik dan tidak melanggar. Contohnya seperti memberikan retribusi di jalan – jalan, kepada para kuli barang, makelar tanah, pialang jual beli, dsb yang dapat menimbulkan kesulitan dalam masyarakat.
Para idealis memang melarang hal itu agar tidak terjadi kezaliman sedikit pun biasanya yang terjadi justru akan menimbulkan kezaliman berlipat ganda serta kerusakan yang menimpa mereka. Ia tidak ubahnya seperti seorang anggota sebuah kafilah yang sedang melintas perjalanan lalu dicegat oleh segerombolan penyamun.
Apabila ia tidak mau menyerahkan hartnya, para penyamun itu selain merampasnya juga akan membunuhnya. Jika dalam keadaan seperti itu ada orang mengatakan kepada kafilah rombongan tersebut, ”kalian tidak boleh menyerahkan kepada para penyamun itu sedikit pun harta orang lain yang kalian bawa.” Mungkin ia bermaksud untuk melindungi sedikit harta yang tidak boleh dirampas kepada para penyamun tadi. Tetapi jika ucapannya dituruti, rombongan kafilah justru kehilangan seluruh hartanya karena dirampas secara paksa oleh penyamun dan sekaligus akan dibunuh. Menurut akal sehat justru ini suatu tindakan keliru yang tidak sesuai anjuran syariat. Sebab sesungguhnya Allah Ta’ala mengutu para Rasul adalah untuk memberikan kemaslahatan dan menyempurnakannya, sekaligus menekan kerusakan sekecil mungkin.
Orang yang memegang jabatan kekuasaan dan terpaksa harus memberikan uang pelicin atau suap kepada orang zalim yang bisa memperlancar tugas – tugasnya, dan jika sampai tidak, maka akan dipegang oleh orang lain yang tidak punya keinginan memberantas kezaliman dan menegakkan keadilan, maka ia tetap akan mendaptkan pahala. Dalam hal ini ia tidak berdosa dan tidak menanggung akibatnya di dunia dan akhirat.                
Ini seperti posisi orang yang dipercaya mengurusi harta anak yatim atau orang yang dipercaya menguru wakaf yang demi kemaslahatan mereka, ia harus berkompromi dengan kedzaliman – kezaliman penguasa, dan kalau ia sampai melepas jabatan tersebut justru akan diambil oleh orang lain yang zalim sehingga menambah kezaliman. Dalam hal ini ia boleh terus mempertahankan jabatan yang diamanahkan kepadanya. Bahkan terkadang, jabatan malah menjadi wajib baginya.
Demikian pula dengan seorang tentara yang ditawari uang pelicin yang berguan untuk tugas – tugas negaranya. Karena, ia memang menbutuhkan fasilitas berupa kendaran, senjata, dan biaya hidup sehari – hari. Memang uang pelicin pada dasarnya memang tidak boleh, tetapi harus diakui bagaimana  pun jasa dan tenaganya berguna bagi kaum muslimin dalam rangka jihad. Dan jika ada yang mengatakan “anda tidak boleh sedikitpun dari harta ini, atau sebaliknya mundur saja, “lalu setelah mundur justru digantikan oleh orang yang lebih zalim, tidak membawa maslahat bagi kaum muslimin, maka orang itu keliru dan tidak memahami hakikat – hakikat agama. Sebab memberi uang pelicin pada kasus di atas notabene lebih baik dari yang lain, lebih berguna bagi kaum muslimin, dan lebih bisa diharapkan untuk berbuat adil serta mengurangi kezaliman adalah lebih baik bagi kaum muslimin daripada diberikan kepada pasukan lain yang kurang bermanfaat dan cenderung berbuat zalim.
Siapapun yang bersungguh – sungguh menegakkan keadilan dan berbuat baik semaksimal mungkin di antara mereka semua, Allah tentu akan membalas mereka yang melakukan. Mereka tidak akan disiksa atas kelemahan dan kekurangan. Dan mereka tidak akan dituntut atas segala yang mereka lakukan yang jika mereka tinggalkan justru akan menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi.

Wallahu A’lam Bisshowab 
Sumber : Majmu' Al Fatwa Juz 7 Hal. 146 Al Maktabah Asy Syamilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar