Rabu, 05 Oktober 2011

Pendapat Ulama' tentang Hasan Al-Bana dan Sayyid Qutb

Untuk Syaikh Hasan Al Banna …..

Pertama:

Syaikh Al Albani memuji Syaikh Hasan Al Banna dan Menyebutkan Keutamaannya Bagi Pemuda Islam

Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:

            “Dahulu saya memiliki (ucapan tidak jelasAl Kitabiyah At Tahririyah, bersama Al Ustadz Asy Syaikh Hasan Al BannaRahimahullah barangkali sebagian kalian –sebagian hadirin diantara kalian- ingat ketika majalah Al Ikhwan Al Muslimunterbit di Kairo, yang diterbitkan oleh penerbitan Jamaah Al Ikhwan Al Muslimin. Saat itu Al Ustadz Sayyid Sabiq pertama kali menyebarkan artikelnya tentang Fiqhus Sunnah, setelah itu artikel ini menjadi tulisan yang bermanfaat bagi kaum muslimin  dengan mengambil   metode dalam Fiqih Islam, sesuai metode Al Quran dan As Sunnah.

            Artikel ini pada akhirnya menjadi kitab Fiqhus Sunnah yang dikarang Sayyid Sabiq, saya pun mulai menela’ahnya, yakni ketika dia terkumpul menjadi buku. Saya memulai memberikan beberapa catatan, lalu saya menulisnya di Majalah, saya meminta mereka untuk menyebarkan dan memperbanyaknya, bukan hanya ini, bahkan sampai kepada saya tulisan yang memotivasi dari Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah, tetapi betapa saya sangat menyesali bahwa tulisan tersebut hilang, saya tidak tahu kemana sisanya ….   

            Kemudian kita selalu berbicara tentang Hasan Al Banna Rahimahullah, maka saya katakan kepada saudara-saudaraku, saudara-saudara salafiyin, di depan semua kaum muslimin: seandainya Syaikh Hasan Al Banna –rahimahullah- tidak memiliki jasa dan keutamaan terhadap para pemuda muslim selain bahwa beliau menjadi sebab yang mengeluarkan mereka dari tempat-tempat hiburan, bioskop dan kafe-kafe yang melalaikan, lalu mengumpulkan dan mengajak mereka di atas dakwah yang satu, yakni dakwah Islam, -seandainya beliau tidak memiliki lagi keutamaan kecuali hanya perkara ini-, maka ia sudah cukup sebagai satu keutamaan dan kemuliaan. Ini saya katakan bersumber dari sebuah keyakinan, dan bukan untuk mencari muka dan tidak pula sekedar basa-basi". (Lihat Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 50)




Kedua:
Berkata Syaikh Abdullah bin Al Jibrin Rahimahullah:
            “Ada kaum yang sibuk terhadap sebagian orang yang sudah wafat semisal Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna. Yang wajib adalah mengoreksi kesalahan mereka (Al Banna dan Sayyid) dan memperingatkan darinya, ada pun kebaikannya maka janganlah ditutup-tutupi, dan janganlah mencela mereka karena kesalahan-kesalahan itu atau ketergelincirannya, karena mereka memiliki banyak kebaikan. 
Jika mereka (kaum itu) hanya menyebutkan kejelekan dan melupakan kebaikannya, maka benarlah apa yang dikatakan oleh penyair:


            Melupakan kebaikan adalah kesombongan yang memberatkan 
            Namun dia tidak lupa dengan kejelekan walau sebesar atom

            Maka, wajib memurnikan kesalahan mereka dan memperingatkan darinya, dan ilmu-ilmu mereka yang lainnya dapat diambil faidahnya …” (Lihat Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 51) 


(Syaikh Ibnu Al Jibrin termasuk yang memberikan pembelaan terhadap Syaikh Al Banna dan Sayyid Quthb beberapa kali)



Ketiga:

Pendapat Al ‘Allamah Abdullah bin Qu’ud Tentang Syaikh Al Banna dan Al Ikhwan

Berkata Syaikh Abdullah bin Qu’ud Hafizhahullah (anggota Lajnah Daimah di Kerajan Saudi Arabia):

            “Bagi saya, sesungguhnya Al Banna Rahimahullah Ta’ala telah menjalankan tugasnya, saya harap semoga Allah mengampuninya dan melipatgandakan pahala baginya. 
Pada kenyataannya, dialah yang menggerakan dakwah di Mesir dan menyebarkannya ke luar Mesir di atas sesuatu yang masih ada kekurangan, tetapi dia telah mendahului. Dia telah mendahului dalam mentarbiyah para pemuda dan dalam menggerakan para pemuda. 
Manusia, Rabb kita telah memuliakan mereka lebih banyak dari sebelumnya. Lalu  pemuda sekarang menjadi pemuda sunah yang  lebih banyak daripada sebelumnya,  dan pemuda yang memiliki komitmen  lebih banyak daripada sebelumnya, dan kebaikan pada mereka lebih banyak daripada  permulaan masa (Al Ikhwan), tanpa diragukan lagi.  Tapi mereka (Al Ikhwan) memulai pada saat hampir belum ada apa-apa, maka janganlah manusia   melupakan keutamaan yang mereka miliki …” sumber: kaset Washaya Lid Du’ah, Juz. 2. (Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyah, Hal. 53)




Untuk Sayyid Qutb


Pertama:

Sa
ya tidak membaca tafsir Sayyid Quthb (Fi Zhilail Quran) tetapi saya pernah membaca sesuatu darinya, sebuah tafsir yang agung dan bermanfaat  namun tidak lepas dari kesalahan 
(Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah)


Pertanyaan: “Wahai Syaikh, saya adalah seorang penuntut ilmu, saya ingin agar Anda berkomentar tentang tafsir Sayyid Quthb, dari sisi aqidah khususnya surat Al Ikhlas dan Al Mujadilah, dan ayat: “maa yakuunu min najwaa tsalaatsatin …., dan seterusnya?

Samahatusy Syaikh menjawab:

            Saya tidak membaca tafsir Sayyid Quthb,  ketika saya membaca sesuatu darinya, tafsir ini begitu agung dan bermanfaat, namun tidak lepas dari salah dan kekeliruan. Tetapi saat ini saya tidak akan mengomentari sesuatu yang Anda tanyakan ….. hal itu membutuhkan muraja’ah (penelaahan), maka untuk saudara penanya kembali lagi ke saya – Insya Allah- dua atau tiga hari lagi, semoga bisa memberi manfaat kepada Anda … (Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 40)

Kedua:
Apa Pendapat Anda Tentang Kitab Fi Zhilalil QuranSyaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin Rahimahullah Al Mustafti (peminta fatwa/penanya) bertanya: “Apa pendapat anda tentang kitab Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Quran, diketahui bahwa kitab ini terdapat aqidah wihdatul wujud?”

Syaikh Utsaimin menjawab: “Ini merupakan dakwaan bahwa dalam kitab tersebut terdapat aqidah wihdatul wujud, jika benar maka itu termasuk kekufuran yang besar. Tapi, kami katakan kepada orang yang mendakwa demikian: tunjukan buktinya …. Tunjukkan bukti atas apa yang Anda katakan bahwa pada kitab ini terdapat perkataan wihdatul wujud atau pernyataan wihdatul wujud.
           
Bagaimana pun juga saya belum membaca kitab ini, tetapi sebagian ulama kita yang mulia telah membacanya, dan kitab ini memiliki pembahasan yang baik sejauh yang kami dengar dari saudara-saudara kami, dan pada sebagian lain ada kesalahan.
           
Ibnu Rajab Rahimahullah –salah seorang ulama Hanabilah dan termasuk murid Ibnul Qayyim- mengatakan dalam kitabnya Al Qawaid Al Fiqhiyah:  (Allah menolak kemaksuman pada kitab selain kitabNya, yang pertengahan adalah bahwa kesalahan seseorang yang sedikit dimaafkan  dihadapan kebenarannya yang banyak) itulah yang objektif.
           
Siapakah yang selamat dari kesalahan? Setiap manusia punya kesalahan, dan sebaik-baik yang membuat kesalahan adalah yang mau kembali kepada kebenaran. Maka, sebuah kitab pasti ada kesalahan dan kebenaran. Kita menerima kesalahan dan menolak …..( Syaikh meralat) kita menerima kebenaran dan menolak kesalahannya.

(penanya bertanya dengan suara tidak jelas, terdengar tentang tafsir surat Qul Huwallahu Ahad)

Syaikh Ibnu Utsaimin: “Tafsir Qul Huwallahu Ahad, saya katakan bahwa saya belum membaca kitabnya, tetapi  tunjukan kepada saya sekarang, saya tunggu ….”
(penanya memutus dengan perkataan yang tidak jelas)

Syaikh Ibnu Utsaimin: “Hah? Bagaimana? (penanya terus berkata terputus-putus dan tidak jelas)

Syaikh Ibnu Utsaimin: “Bagaimana pun juga saya tidak akan berkata apa-apa, saya tidak akan berkomentar sebelum menyaksikan dengan mata sendiri masalah yang membahayakan. Saya katakan kepada kalian jika nampak adanya kesalahan dari seorang yang ‘alim dan dikenal sebagai penasihat umat, jika keluar darinya sesuatu yang samar antara benar dan batil, maka berikanlah interpretasi yang baik …

Penanya:  …….. aqidah ya syaikh!!

Syaikh Ibnu Utsaimin:  “Aqidah atau selain aqidah!! Jika sesuatu yang dikenal sebagai penasihat umat, dan ucapannya disegani dengan jelas, maka bawalah dengan pemahaman yang baik. Ambilah pelajaran dari keadaan seseorang , ambillah pelajaran dari keadaan seseorang.”

Aku katakan kepada kalian pada acara ini: saat ini telah ada manusia –semoga Allah memberi petunjuk kepada kami dan mereka.    Mereka mengorek kejelekan  para ulama dan menyebarkannya, dan mereka mendiamkan kebaikan-kebaikannya yang jauh berlipat-lipat dibanding kejelekannya  ….

Penanya:   ………. aqidah ya Syaikh!!

Syaikh Ibnu Utsaimin melanjutkan“ini keliru …. keliru!  Aqidah –barakallahu fiik-  adalah seperti selainnya, dari sisi bahwa di dalamnya juga terjadi kesalahan. Apakah Anda tidak tahu para ulama berbeda pendapat dalam kekekalan neraka? Apakah dia kekal atau tidak? Baik dari salaf dan khalaf, dan perkara ini aqidah atau  selain aqidah? Aku Tanya Anda!! Aqidah, dan mereka telah berselisih pendapat.

(Syaikh Ibnu Utsaimin meneruskan)Ash Shirath yang diletakan di neraka jahanam, apakah dia jalanan? Seperti jalanan lainnya, ataukah dia sesuatu yang lebih halus dari rambut dan ujung pedang? Ini juga terjadi perbedaan pendapat.

Penanya memutus pembicaraan: !!!!

Syaikh Ibnu Utsaimin tetap meneruskan: Dengarkan!! Yang ditimbang pada hari kiamat itu amalnya atau pemilik amal? Atau lembaran-lembaran amal?

(Penanya memutus dengan ucapan yang tidak jelas)

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab: “Saya ceritakan kepada Anda tentang perselisihan (khilaf), apakah Rasul pernah melihat Rabbnya atau tidak? Apakah ruh kembali ke badan dalam kuburanya dan azabnya dirasakan badan dan ruh sekaligus? Semua ini masalah aqidah.

(penanya berbicara dengan suara tidak jelas)

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab: “Baiklah, saya berikan kepada Anda sebuah kaidah dalam perkara pengingkaran terhadap al istawa (bersemayam) dan sifat-sifat lainnya. Barang siapa yang mengingkari karena menolak sifat, maka dia mendustakan Al Quran, barang siapa yang mengkarinya karena takwil, maka lihat dulu takwilnya! 

Syaikh bertanya: “Mengerti kamu? Sendainya ada orang mengatakan: Allah tidak bersemayam di atas ‘Arsy, ini merupakan pengingkaran atau penafsiran/takwil?”

Penanya menjawab: “Pengingkaran.”

Syaikh membenarkan jawaban si penanya: “Ya pengingkaran,  ini kafir sebab dia mendustakan Al Quran. Sedangkan orang yang mengatakan sesungguhnya Allah istawa (bersemayam) di atas ‘Arsy, mengartikan istawa dengan istawla(menguasai), apakah ini pengingkaran?”

Seorang di antara mereka menjawab:  “Itu penakwilan.”

Syaikh membenarkan jawaban itu: “Ya takwil, lihatlah apakah orang yang memberikan takwil itu dikatakan kafir, fasiq, atau diberikan ‘uzur (kemaafan), coba lihat ..ya.”

Penanya berkata: “Apakah kita boleh mengucapkan ‘rahimahullah’ atasnya? ….. atas Sayyid?

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab: “Sehubungan dengan ini, saya katakana bahwa tergesa-gesa dalam membid’ahkan, memfasikan, dan mengkafirkan adalah haram, tidak boleh. Sebagaimana tidak bolehnya tergesa-gesa dalam menghalalkan dan mengharamkan. Hati-hatilah mengatakan atas nama Allah terhadap apa-apa yang kalian tidak tahu, sesungguhnya Allah mengharamkan hal itu.  Allah Ta’ala berfirman: Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al A’raf: 33)

            Hukum dalam takfir, khususnya takfir terhadap seseorang, harus dikaitkan pada dua hal:

Pertama, kita mengetahui dalil-dalil yang menunjukkan perkara yang kita ingkari adalah perkara yang menyebabkan kekafiran. Betapa banyak manusia menyangka sesuatu yang dikiranya sebagai kekafiran padahal tidak, maka wajib bagi kita mengatahui dalil-dalil yang menunjukkan bahwa   perbuatan atau perkataan ini adalah membawa kekafiran.
Kedua, hendaknya kita mengetahui bahwa si pengucap atau si pelaku bukanlah termasuk yang mendapatkan ‘uzur dengan perkataan dan perbuatannya itu. Karena, orang yang telah mengatakan perkataan yang kufur telah mendapatkan ‘uzur,  baik karena  dia bodoh, atau dia mentakwil, atau dia mengucapkannya secara reflek, seperti karena sangat marah   atau sangat  bahagia, atau yang serupa dengan itu. Tidaklah perkataan itu menjadi kufur, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda: “Milik Allah-lah kebahagiaan yang sangat …..”   (rekaman berakhir). (Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 42-44)
  

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum... afwan, ana sangat sedih banyak manusia menyebut dirinya ulama salafushsholeh tetapi mencaci ulama besar karena sebuah kesalahan yang mungkin masih bisa diperbaiki, kesalahan saat ini adalah pengkafiran ulama-ulama besar dari kelompok islam yamh menyatakan didrinya salafushsholeh, pada hal salafushsholeh terdahulu sangat santun berbicara....hancurnya persatuan umat islam sekarang ada andil orang-rang yang mengaku dirinya ulama tetapi perkataan di publik ternyata tidak baik (red mencaci maki dan cepat mengkafirkan saudaranya)

    BalasHapus