Rabu, 23 Mei 2012

Bulan Rajab dan Keutamaannya


Bulan rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah ta'ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan yang haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.1 Allah ta'ala berfirman: “Hai Orang-orang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram....” (QS Al Maidah ayat 2).
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan haram-haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram. (Sunan At-Trimidzi No. 1512). Rasulullah SAW bersabda “Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram; tiga yang awal adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara jumadil dan sya'ban”. (HR Bukhari No. 3025).
Dinamakan Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu, yakni Ya'zhumu (mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu'i, Al Mufadhdhal dan Al Farra' (Imam Ibnu Rajab Lathaif Al Ma'arif, hal 117 Mawqi' Ruh Al Islam).
Banyak manusia menyakini bulan Rajab sebagai bulan untuk memperbanyak ibadah, seperti sholat, puasa, dan menyembelih hewan untuk disedekahkan. Tetapi, kebiasaan ini nampaknya tidak didukung oleh sumber (dalil) yang shahih. Para ulama hadits telah melakukan penelitian mendalam, bahwa tidak ada satu pun riwayat yang shahih yang menyebutkan keutamaan sholat khusus, puasa, dan ibadah lainnya pada bulan Rajab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani, dan Syaikh Yusuf Qardhawi. Benar, bulan Rajab adalah bulan agung dan mulia, tetapi kita tidak mendapatkan hadits shahih tentang rincian amalan khusus pada bulan Rajab. Wallahu A'lam..
Sebagai contoh
“Sesungguhnya di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari saja, maka Allah akan memberikannya minum dari sungai itu.” (Status hadits : BATIL. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898).
“Ada lima malam yang doa tidak akan tolak: awal malam pada bulan Rajab, malam nisfu sya'ban, malam jum'at, malam idul Fitri dan malam hari raya qurban”. (Status hadits: Maudhu' (palsu). As-Silsilah Adh Dhaifah No. 1452).
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)
“Dinamakan Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya'ban dan Ramadhan”. (Status hadits: Maudhu' (palsu). As silsilah Adh-Dhaifah No. 3708)



Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti shalat raghaib (12 raka'at pada hari kamis ba'da maghrib di bulan rajab (ini ada di dalam kitab Ihya Ulumuddinnya Imam Al Ghazali. Segenap ulama seperti Imam Nawawi mengatakan ini adalah bid'ah yang buruk dan mungkar, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan lainnya mengatakan serupa).
Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan larangan ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan mulia, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).
Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin-kamis, dan ayyamul bidh (13,14,15 bulan hijriyah), sebab ini memiliki perintah secara umum dalam syari'at. Tidak mengapa memotong hewan untuk disedekahkan, yang keliru adalah menyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab. Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang khusus baik Al-Qur'an dan As-Sunah.
Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al-'Atirah) pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan dalam Islam. Imam Ibnu Sirrin mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh islam. Sebab Rasulullah SAW bersabda dalam hadits shahih: “Tidak Al Fara' dan Al 'Atirah”. (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma'arif Hal. 117).
Namun, jika sekedar ingin menyembelih hwan pada bulan Rajab, tanpa mengkhususkan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa dilakukan. Karena Imam An-Nasa'i meriwayatkan, bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi SAW bersabda: “Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja” (HR An-Nasa'i, hadits ini Shahih. Lihat Shahih Al Jami' Ash-Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208).

Benarkah Isra' dan Mi'raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?
Adapun tentang Isra' dan Mi'raj benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A'lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabi'ul Awwal, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi'ul Awwal. (Ibid Hal. 95)
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw dilahirkan pada malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Saw terjadi malam ke-27 Rajab dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma'arif Hal.121. Mawqi' Ruh Al-Islam)
Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra' Mi'raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan?
Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan manusia yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya'ban, wa balighna ramadhan, adalah hadits dhaif (lemah).
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Saw jika masuk bulan Rajab, dia berkata “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya'ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah, Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, no 2228. Ath Thabrani, Al Mu'jam Al Awsath, no 4086, dengan teks agak berbeda yakni. “wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu'abul Iman, No 3654)
Muhadits Syaikh Al Albany mendhaifkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih, no 1369).2


Sumber : Al-Intima'
1Sebagaian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya.......”. Sementara ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh hukumnya. (Jami' Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al 'Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma'arif Hal. 116. mawqi' Ruh Al Islam).
2Kelemahan hadits ini, karena dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqah dan Ziyad an-Numairi. Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bi Abi Ruqah I: “Munkarul Hadits” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma' az-Zawaid, Juz 2, hal 165. Darul Kutub Al 'Ilmiyah)
Imam An Nasa'i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz-Dzahabi sendir mengatakan: Dhaif.” Seang tantang Ziyad an Numairi berliau berkata: Ziyad dhaif juga.” (Imam Daz-Dzahabi, Mizanul I'tidal, Juz 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An-Nasa'i dalam kitabnya yang lain, Adh-Dhu'afa mengatakan: “munkarul hadits,” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz 3, Hal. 263)
Sedangkan tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha'if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma' az Zawaid, Juz 10, Hal.388.Darul Kutub Al Ilmiyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar