Bulan
rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah ta'ala sebutkan
sebagai asyhurul
hurum (bulan-bulan
yang haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk
berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.1
Allah ta'ala berfirman: “Hai
Orang-orang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram....”
(QS Al Maidah ayat 2).
Ayat
mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan haram-haram, yang
tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul
hurum (bulan-bulan
haram) adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram.
(Sunan At-Trimidzi No. 1512).
Rasulullah
SAW bersabda “Setahun
ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram; tiga yang awal
adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan Rajab yang
penuh kemuliaan antara jumadil dan sya'ban”.
(HR
Bukhari No. 3025).
Dinamakan
Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu,
yakni Ya'zhumu
(mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu'i, Al Mufadhdhal dan
Al Farra' (Imam
Ibnu Rajab Lathaif Al Ma'arif, hal 117 Mawqi' Ruh Al Islam).
Banyak
manusia menyakini bulan Rajab sebagai bulan untuk memperbanyak
ibadah, seperti sholat, puasa, dan menyembelih hewan untuk
disedekahkan. Tetapi, kebiasaan ini nampaknya tidak didukung oleh
sumber (dalil) yang shahih.
Para ulama hadits telah melakukan penelitian mendalam, bahwa tidak
ada satu pun riwayat yang shahih yang menyebutkan keutamaan sholat
khusus, puasa, dan ibadah lainnya pada bulan Rajab, sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani, dan Syaikh Yusuf
Qardhawi.
Benar, bulan Rajab adalah bulan agung dan mulia, tetapi kita tidak
mendapatkan hadits shahih tentang rincian amalan khusus pada bulan
Rajab. Wallahu A'lam..
Sebagai
contoh
“Sesungguhnya
di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih dari susu dan
lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari
saja, maka Allah akan memberikannya minum dari sungai itu.” (Status
hadits : BATIL. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898).
“Ada
lima malam yang doa tidak akan tolak: awal malam pada bulan Rajab,
malam nisfu sya'ban, malam jum'at, malam idul Fitri dan malam hari
raya qurban”. (Status
hadits: Maudhu' (palsu). As-Silsilah Adh Dhaifah No. 1452).
“Rajab
adalah bulannya Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan ramadhan adalah
bulan umatku.”
(Status
hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)
“Dinamakan
Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan
(yatarajjaba) bagi Sya'ban dan Ramadhan”. (Status
hadits: Maudhu' (palsu). As silsilah Adh-Dhaifah No. 3708)
Dan
masih banyak lagi yang lainnya, seperti shalat raghaib (12 raka'at
pada hari kamis ba'da maghrib di bulan rajab (ini ada di dalam kitab
Ihya Ulumuddinnya Imam Al Ghazali. Segenap ulama seperti Imam Nawawi
mengatakan ini adalah bid'ah yang buruk dan mungkar, juga Imam Ibnu
Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan lainnya mengatakan serupa).
Walau
demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan
larangan ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah,
memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah
perbuatan mulia, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab
(kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).
Tidak
mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin-kamis, dan
ayyamul bidh (13,14,15 bulan hijriyah), sebab ini memiliki perintah
secara umum dalam syari'at. Tidak mengapa memotong hewan untuk
disedekahkan, yang keliru adalah menyakini dan MENGKHUSUSKAN
ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di
bulan Rajab. Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang
khusus baik Al-Qur'an dan As-Sunah.
Sementara
itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al-'Atirah) pada
bulan Rajab, telah terjadi perbedaan dalam Islam. Imam Ibnu Sirrin
mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga
Imam Ahmad bin Hambal. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa hal
itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh islam.
Sebab Rasulullah SAW bersabda dalam hadits shahih: “Tidak
Al Fara' dan Al 'Atirah”.
(Imam
Ibnu Rajab, Lathaif
Al Ma'arif Hal.
117).
Namun,
jika sekedar ingin menyembelih hwan pada bulan Rajab, tanpa
mengkhususkan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa
dilakukan. Karena Imam An-Nasa'i meriwayatkan, bahwa para sahabat
berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai
Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan
Rajab?” Maka Nabi SAW bersabda: “Menyembelihlah karena Allah,
pada bulan apa saja”
(HR
An-Nasa'i, hadits ini Shahih. Lihat Shahih Al Jami' Ash-Shaghir wa
Ziyadatuhu, 1/208).
Benarkah
Isra' dan Mi'raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?
Adapun
tentang Isra' dan Mi'raj benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan
Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu
A'lam. Sebab,
tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim
tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab,
dikatakan Rabi'ul Awwal, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal.
(Imam
Ibnu Hajar, Fathul
Bari,
7/242-243)
Imam
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa banyak ulama yang melemahkan
pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan
Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi'ul
Awwal. (Ibid Hal. 95)
Beliau
juga berkata: “Telah
diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung
dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw
dilahirkan pada malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya,
ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang
shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari
Al-Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Saw terjadi malam
ke-27 Rajab dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.”
(Lathaif
Al Ma'arif Hal.121.
Mawqi' Ruh Al-Islam)
Sementara,
Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal
itu adalah dusta.” (Tabyinul
Ajab hal.
6).
Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra' Mi'raj tidak
diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat
tentang ini terputus dan berbeda-beda.
Adakah
Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan?
Tidak
ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar
diucapkan manusia yakni: Allahumma
Bariklana fi rajaba wa sya'ban, wa balighna ramadhan, adalah
hadits dhaif (lemah).
Dari
Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Saw jika masuk bulan Rajab,
dia berkata “Allahumma
Barik lanaa fii Rajaba wa Sya'ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.”
(Ya
Allah, Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan Berkahilah kami
di bulan Ramadhan). (HR.
Ahmad, no 2228. Ath Thabrani, Al Mu'jam Al Awsath, no 4086, dengan
teks agak berbeda yakni. “wa
Balighnaa fii Ramadhan.” Al
Baihaqi, Syu'abul Iman, No 3654)
Sumber
: Al-Intima'
1Sebagaian
imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan
haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh
(direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah
orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya.......”.
Sementara ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak
mansukh,
sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali
darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa ayat ini mansukh
hukumnya. (Jami'
Al Bayan, 9/478-479. Darul
Kutub Al 'Ilmiyah)
Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan
haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya
terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif
Al Ma'arif
Hal. 116. mawqi' Ruh Al Islam).
2Kelemahan
hadits ini, karena dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin
Abi Ruqah dan Ziyad an-Numairi. Imam Bukhari
berkata tentang Zaidah bi Abi Ruqah I: “Munkarul
Hadits” (haditsnya
munkar) (Imam al
Haitsami, Majma' az-Zawaid, Juz 2, hal 165. Darul Kutub Al 'Ilmiyah)
Imam
An Nasa'i berkata:
“Aku
tidak tahu siapa dia.” Imam
Adz-Dzahabi sendir
mengatakan: “Dhaif.”
Seang
tantang Ziyad an Numairi berliau berkata: Ziyad dhaif
juga.”
(Imam
Daz-Dzahabi, Mizanul I'tidal, Juz 2, Hal. 65)
Imam
Abu Daud berkata:
“Aku
tidak mengenal haditsnya.” Sementara
Imam
An-Nasa'i
dalam kitabnya yang lain, Adh-Dhu'afa mengatakan: “munkarul
hadits,”
Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak
bisa dipercaya”
(Imam
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz 3, Hal. 263)
Sedangkan
tentang Ziyad an Numairi: “Dia
dha'if
menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).”
(Majma'
az Zawaid, Juz 10, Hal.388.Darul Kutub Al Ilmiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar