Dengan pertimbangan hal-hal tadi[1],
Khadijah mengutus Nafisah binti Umayyah, yang masih kerabat dekat Muhammad dan
saudara perempuan dari seorang lelaki yang kemudian menjadi salah satu sahabat
Nabi yang terkemuka, Ya’la bin Umayyah.
Nafisah mendatangi Nabi dan
menasihatinya, pentingnya menikah. Mendengar hal itu, Nabi menahan air matanya yang
hampir tumpah. Seketika beliau teringat akan kesepian yang dideritanya, sejak
ditinggal wafat ibunya. Nabi memaksakan dirinya tersenyum dan menjawab bahwa
dirinya hanya seorang miskin yang tidak memiliki apa-apa yang akan diberikan
kepada wanita yang akan menjadi istrinya dan aku belum menemukan wanita yang
akan menjadi teman hidupnya.
‘Kalau urusan keperluan menikah aku
sediakan dan kutawarkan wanita yang cantik, kaya, mulia, dan cocok untukmu,
maukah engkau menikah?’ tanya Nafisah.
Muhammad menjawab, ‘Siapa wanita
itu?’
Kukatakan, ‘Khadijah’.
‘Bagaimana mungkin?’ tanya Muhammad
kembali.
Kukatakan, ‘Aku akan mengaturnya’.
Setelah itu, Nafisah memberi tahu
hasil pendekatannya kepada Khadijah. Khadijah lalu mengundang Muhammad ke
kediamannya. Di sana, dengan berani, Khadijah mengungkapkan secara langsung pinangannya.
Berikut ini;
“Wahai anak pamanku, aku berhasrat
untuk menikah denganmu atas dasar kekerabatan, kedudukanmu yang mulia, akhlakmu
yang baik, integritas moralmu, dan kejujuran perkataanmu.”
Kemudian beliau pulang, menemui
pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib dan menyampaikan lamaran Khadijah.
Pamannya, Hamzah mengajak Muhammad menemui Amr bin Asad[2]
untuk melamar Khadijah. Kedatangannya untuk memperbincangkan masalah lamaran
Khadijah kepada Muhammad. Amr bin Asad, selaku perwakilan Khadijah menyambut perihal
tersebut, asalkan keduanya saling mencintai
Tak lama kemudian, pernikahan
dilangsungkan. Dua ekor unta besar disembelih untuk keperluan pesta. Dagingnya
dibagi-bagikan kepada keluarga, tamu undangan, sahabat, serta fakir miskin. Keluarga
Muhammad dipimpin oleh Abu Thalib dan Hamzah beserta keluarga Bani Hasyim.
Hadir bersamanya, Bani Mudhar, sedangkan keluarga Khadijah dipimpin oleh Amr
bin Asad beserta Bani Asad. Muhammad menyerahkan mahar sebanyak 20 ekor unta
muda kepada Khadijah.
Pidato pernikahan disampaikan oleh
Abu Thalib, “Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan kita sebagai anak
keturunan Ibrahim dan Ismail. Segala puji bagi-Nya yang telah menjadikan kita
penjaga rumah-Nya dan pemelihara tanah suci-Nya. Dia yang menjadikan kediaman
kita aman dan diziarahi banyak orang. Dia pula yang menjadikan kita berkuasa
atas orang-orang. Keponakanku ini, Muhammad ibnu Abdullah, tidak bisa
dibandingkan dengan pemuda manapun; ia pasti mengungguli mereka. Ia memang
tidak kaya. Tetapi, bukankah kekayaan akan berubah dan hilang? Dan kalian tahu
di dalam keluarga seperti apa Muhammad dilahirkan. Hari ini, Muhammad menikahi
Khadijah binti Khuwailid dengan mahar yang seluruhnya menjadi tanggunganku. Ini
akan menjadi berita besar dan kehormatan yang agung.[3]”
Selesai menyampaikan pidato,
berdirilah Amr bin Asad, paman Khadijah. Ia menyampaikan “Saksikanlah oleh kamu
sekalian, wahai kawan Quraisy, bahwa aku hari ini telah menikahkan Muhammad bin
Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid.[4]”
Pernikahan ini juga dihadiri oleh
Ibu susu Muhammad, Halimah. Halimah datang dari desa Bani Sa’ad untuk merestui
pernikahan anak susunya. Kehadiran ini membuat Nabi terharu. Rasa terharu
semakin menjadi, ketika ibu susuan pulang ke desanya. Nabi memberikan 40 ekor
kambing kepada ibu susuannya, Halimah.
Nama dan
silsilah Khadijah
Khadijah binti Khuwailid bin Asad
bin Abdul Uzza bin Qusay bin KIlab bin Murrah bi Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr. Sedangkan ibunnya bernama, Fatimah binti Za’idah bin Al-Asamm bin Rawaha
bin Hajar bin Abd bin Ma’is bin ‘Amir bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr. Dari ayah
maupun ibu beliau, Khadijah berasal dari keturunan suku Qurasiy.
Buah
pernikahan Khadijah dengan Nabi Muhammad SAW
Perjalanan bahtera rumah tangga
beliau bersama istrinya, Khadijah selama 15 tahun dan dikaruniai 4 putri dan 2
putra. Mereka adalah Qasim dan Abdullah, sedangkan putri beliau adalah Zainab,
Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fatimah.
Qasim, adalah
putra pertama yang dilahirkan di kota Makkah, saat itu Muhammad belum diangkat
menjadi Rasul. Usia hidup Qasim tidak lama, meninggal pada usia 2 tahun.
Abdullah, adalah
putra kedua yang dilahirkan di kota Makkah setelah Muhammad diangkat menjadi Rasul.
Julukannya adalah ath-thahir artinya
yang suci, ath-thayib yang artinya
yang baik. Meninggal pada usia 5 tahun.
Zainab, putri
pertama dilahirkan, saat itu Rasul berusia 30 tahun. Zainab adalah anak yang
pertama kali menikah, suami beliau bernama Abu Ash bin Rabi’[5].
Ketika dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Zainab melahirkan seorang
putri, bernama Umamah[6].
Kemudian anak kedua lahir sebelum Khadijah meninggal dunia. Anak itu laki-laki
dan diberi nama Ali, kemudian Ali disusui oleh seorang wanita dari bani
Ghadhirah dan dididik di sana untuk mempelajari dasar-dasar bahasa arab yang
murni dan fasih. Ali dan ibunya, Zainab meninggal pada tahun yang sama, tahun 8
H. Jenazahnya, Zainab dimandikan oleh Ummu Aiman, Saudah bin Zam’ah, Ummu
‘Athiyah, dan Ummu Salamah radhiallahu anhuma.
Ruqayyah, adalah
adik dari Zainab. Ia dilahirkan ketika Rasulullah berusia 33 tahun. Sebelum
menikah dengan Utsman bin Affan, menikah dengan Utbah bin Abu Lahab. Pada
pernikahan ini tidak ibunya, Khadijah melihat perilaku buruk ibu Utbah, Ummu
Jamil binti Harb. Setelah turunnya Al-Lahab, maka Ayahnya, Abu Lahab
memerintahkan anaknya untuk menceraikan istrinya. Atas perintah bapaknya, Utbah
langsung menceraikannya tanpa alasan.
Kemudian Rasulullah menikahkan dengan Utsman bin Affan. Buah
pernikahannya, lahir Abdullah bin Utsman[7],
namun usianya tidak lama, Allah mencabut nyawanya pada usia 2 tahun. Pada bulan
ramadhan, saat itu kaum muslimin sedang perang Badar Allah mencabut nyawa
Ruqayyah.
Ummu
Kaltsum, adalah adik dari Ruqayyah. Awalnya menikah dengan Utaibah
bin Abu Lahab, namun perintah ayahynya, maka dia menceraikannya. Setelah wafat
kakaknya, Ruqayyah, Rasul menikahkan Utsman dengan Ummu Kaltsum. Pernikahan
terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, dan baru berumah tangga bulan Jumadil Tsani.
Pernikahan dengan Utsman bin Affan tidak melahirkan seorang anak pun. Pada
bulan sya’ban tahun 9 Hijriyah, Ummu Kaltsum meninggal dunia. Jenazahnya
dimandikan oleh Asma’ binti Umais, Shafiyah binti Abdul Muthalib radhiallahu
anhuma.
Fatimah, adalah putri
sulung dari Rasulullah dan Khadijah. Ia dilahirkan sebelum tahun 5 kenabian.
Beliau memiliki kemiripan dengan Rasulullah. Julukannya Az-Zahra, sedangkan
kunyahnya adalah Ummu Abiha. Abu Bakar dan Umar bin Khaththab radhiallahu
‘anhum maju melamar Fatimah, namun Rasul menolak dengan halus dan giliran Ali
bin Abi Thalib, Rasul menerima lamaran tersebut. Setahun menikah dengan Ali bin
Abi Thalib, lahir dua putra kembar, Hasan, dan setahun kemudian, bulan Sya’ban
tahun ke 4 H Husain lahir. Dan tahun 5 H, lahir Zainab dan yang sulung Ummu
Kaltsum. Setelah Rasul wafat, kira-kira 6 bulan Fatimah jatuh sakit dan malam
selasa tanggal 13 ramadhan tahun 11 Hijriyah, Allah mencabut nyawanya.
Sumber :
Abdul Mun’im Muhammad, Khadijah The True Love Story
of Muhammad SAW. Jakarta : Penerbit Pena
Dr ‘Aisyah Bintusy-Syathi’, Istri-istri Nabi. Bandung
: Pustaka Hidayah
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, Jakarta : Darul Falah
Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah, Surakarta : UMS Press
KH Moenawar Khalil, Tarikh Lengkap Nabi Muhammad SAW,
Jakarta : GIP
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad,
Jakarta : Tirtamas Indonesia
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfurry, Sirah
Nabawiyah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
[1]
Pertimbangan : cerita dari maisaroh maupun perilaku dan tutur kata selama
perbincangan.
[2] Adalah
Paman dari jalur ayahnya. Saat itu ayah Khadijah, Khuwailid bin Asad sudah
meninggal.
[3]
Abdul Mun’im Muhammad, Khadijah The True
Love Story of Muhammad, jilid 1, halaman 19.
[4] KH
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad, jilid 1, halaman 90.
[5]
Seorang yang terkenal dengan kekayaan, integritas moral, dan kecakapan dalam
berdagang. Khadijah dan Nabi sangat menyukai Abul Ash.
[6]
Cucu pertama dan dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib, sesudah wafatnya Fatimah.
[7]
Lahir sesudah pulang dari hijrah ke Habasyah, saat itu kondisi Makkah sudah
membaik dan aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar