Ketika Nabi Saw berusia dua puluh
tahun, pamannya, Abu Thalib berunding dengan saudara perempuannya, Atikah
tentang kemenakannya, Muhammad, bagaimana beliau mendapatkan penghasilan guna
keperluan hidupnya. Pendapat ini langsung disetujui oleh saudara perempuannya,
Atikah.
Kemudian pamannya, Abu Thalib
memanggil Nabi Saw dan berkata, “Wahai anak saudaraku, sebagaimana telah kamu
ketahui bahwa pamanmu ini sudah tidak mempunyai kekayaan, padahal keadaaan
sudah sangat mendesak, maka tidak baik kalau kamu mulai berniaga dari sedikit
ke sedikit yang hasilnya dapat kamu pergunakan untu kepentinganmu sehari-hari?”
“Terserah paman” jawab Nabi
Kemudian pamannya, Abu Thalib
segera menemui Khadijah, janda dan saudagar kaya raya, serta mengajukan permohonan
agar Muhammad menjualkan barang dagangannya, dan akhirnya diterima oleh
Khadijah. Kemudian Nabi saw datang kerumahnya, untuk mengambil barang
dagangannya dan membicarakan pembayaran dan hasil keuntungan[1].
Selesai pembicaraan dengan Khadijah, Nabi saw
segera pulang dan menemui pamannya, Abu Thalib dan menceritakan hasi
pembicaraannya. Setelah mendengarnya, Abu Thalib merasa gembira dan berkata,
“Hai Muhammad, gembiralah engkau, dan semoga Tuhan mengaruniai laba dan
keuntungan yang besar atas usahamu menjualkan barang perniagaan khadijah”[2].
Hingga waktu telah tiba,
kafilah-kafilah Quraisy bersiap-siap melakukan perjalanan ke Syam dan Nabi saw
berkemas-kemas. Berangkatlah Nabi saw ditemani oleh Maisaroh[3]
bersama kafilah-kafilah. Kafilah Qurasiy menggunakan jalur Wadil’ Qura, Madyan,
dan Diar Tsamud serta daerah-daerah yang pernah dilalui Nabi saw bersama
pamannya, Abu Thalib, tatkala Nabi saw berusia dua belas tahun[4].
Dalam perjalanan ini, Nabi saw sama
sekali tidak mengetahui bahwa Maisaroh itu melakukan apa yang diperintahkan
oleh Khadijah, yakni mengamati-amati kelakuan dan perbuatan selama perjalanan
pulang pergi ke negeri syam serta cara menjual barang dagangan.
Ketika Nabi saw tiba di kota Syam,
beliau istirahat di bawah pohon besar, sedangkan Maisaroh pergi menemui ke
tempat kenalannya yang tinggal di dekat pasar. Baru setengah perjalanan,
tiba-tiba ditemui seorang pendeta Nasrani bernama Masthura. Setelah itu
mengucapkan salam kepada maisaroh, yang kebetulan sudah saling kenal. Pendeta
itu bertanya, “Siapakah pemuda yang duduk di bawah pohon besar?”
“Pemuda itu berasal dari Tanah
Haram (Makkah), ia keturunan Quraisy, ungkap Maisaroh.
Kemudian bertanya lagi, “Adakah
dalam kedua matanya tanda merah?”
Kata Maisaroh, “Iya”
“Itu dia, dan dia itulah penghabisan
Nabi-Nabi Allah. Mudah-mudahan aku nanti dapat mengetahui di kala ia diangkat
menjadi Nabi,” demikian kata pendeta.
Kemudian pendeta lari menuju Nabi saw yang masih bersandar dibawah pohon
besar. Sesampai di sana, pendeta melihat sifat-sifat atau tanda-tanda yang ada
di wajah beliau, seketika itu pula pendeta mencium kepala dan kaki beliau. Lalu
berkata, “Aku percaya kepada engkau dan aku menyaksikan bahwasannya engkaulah
yang telah disebutkan oleh Allah dalam Taurat”.
Kemudian ia berkata, “Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan saya menyaksikan bahwa engkau itu Rasul
Allah lagi Nabi yang ummy, yang pernah diberitakan dengan kegembiraan oleh Isa
ibnu Maryam, karena beliau pernah berkata, “Tidak akan turun pada masa kemudian
dariku di bawah pohon ini melainkan seorang Nabi yang ummy lagi dari bangsa
Arab keturunan Hasyim serta berasal dari penduduk Makkah.”[5]
Kemudian Nabi saw tiba di kota Syam
dan sudah pada waktunya menjual barang dagangannya. Cara Nabi saw menjual
dagangan tidak seperti kebanyakan yang dilakukan orang-orang. Cara beliau
berdagang adalah berapa harga pokok dari Khadijah, beliau sebutkan dengan
sebenarnya kepada pembeli, dan tentang keuntungan bagi beliau, itu terserah
kepada pembeli.[6]
Barang dagangan terjual habis dan laba yang luar biasa besar pun
diperoleh.
Sesudah selesai urusan berdagang di
kota Syam, Nabi Saw bersama Maisarah mencari dan membeli barang yang diinginkan
dan dipesan oleh Khadijah. Selesai urusan itu, bersiap-siap menuju ke Makkah.
Sesampai di sebuah lembah Marr-Zahran[7],
Maisaroh berkata, “Ya Muhammad, alangkah baiknya engkau segera menemui
Khadijah, sampaikan laporan yang engkau alami dan keuntungan yang engkau
peroleh.”
Sesampai di kota Makkah, para
lelaki menyambut kedatangannya dan para wanita memandangi mereka dari atas
rumah. Khadijah pun tidak melewatkan momen ini, beliau bersama wanita lain.
Para wanita terkejut, betapa gagahnya Muhammad, betapa agungnya wibawa, dan
terlihat indah dan mengesankan.
Sesuai dengan tradisi, sesudah
melakukan perjalanan dagang. Nabi saw pun langsung menuju Ka’bah, melakukan
thawaf. Sesudah itu, beliau ke rumah Khadijah. Disambutlah dengan hormat dan gembira. Kemudian Nabi saw
melaporkan semua hal yang dialaminya selama perjalanan, termasuk keuntungan
besar yang diperolehnya serta menyerahkan barang-barang dagangan yang dibeli di
kota Syam. Khadijah menerima laporannya denga rasa gembira.
Sesudah itu, datanglah maysaroh,
menceritakan perihal tingkah laku Muhammad di sepanjang perjalanan. Khadijah
mulai memikirkan dan menimbang semua cerita yang didengarnya. Hal ini menambah
pengetahuan Khadijah perihal kejujuran, integritas, kebersihan moralnya.
Sumber
:
Abdul
Mun’im Muhammad, Khadijah The True Love Story of Muhammad SAW. Jakarta :
Penerbit Pena
Ibnu
Hisyam, Sirah Nabawiyah, Jakarta : Darul Falah
Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah, Surakarta : UMS Press
KH Moenawar Khalil, Tarikh Lengkap Nabi Muhammad SAW,
Jakarta : GIP
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad,
Jakarta : Tirtamas Indonesia
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfurry, Sirah
Nabawiyah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
[1]
Khadijah membayar jasa Nabi saw dua kali lipat dari apa yang biasa diterima
oleh orang lain dari kaumnya.
[2] KH
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad SAW, jilid 1, halaman 84
[3]
Budak dari Khadijah
[4]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
jilid 1, halaman 71
[5] KH
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad SAW, jilid 1, halaman 86
[6] KH
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad SAW, jilid 1, halaman 87
[7]
Pendapat Muhammad Haekal. Sedangkan Abdul Mun’im Muhammad berkata, lembah itu
bernama Wadi Fatimah-diluar Makkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar