Oleh Akmal Sjafril,
ST., M.Pd.I
Setiap
bulan Juni, bangsa Indonesia mengenang lahirnya Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia (RI). Meskipun demikian, dalam sejarah RI, sebenarnya ada
beberapa titik kontroversial penting yang berkaitan denga sejarah kelahiran
Pancasila.
Salah
satu masalah yang selalu mengemuka dari masa ke masa adalah tentang relasi
antara Islam dan Pancasila. Di titik ekstrem yang satu, ada sebagian kalangan
dari umat Muslim menganggap bahwa Pancasila adalah thaghut atau berhala, dan menerimanya sebagai dasar negara adalah
sebuah kemusyrikan. Di titik ekstrem lainnya ada sebagian masyarakat yang
menganggap bahwa Pancasila berada pada posisi yang superior dibandingkan semua
agama dan karenanya, Islam di Indonesia pun harus tunduk pada Pancasila. Pihak
kedua ini berhaluan sekuler-liberal. Di antara kedua kelompok tersebut, ada
golongan yang tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila.
Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam mendudukkan
posisi Islam dan Pancasila adalah; apakah keduanya mesti dipertentangkan? Baik
untuk jawaban “ya” atau “tidak”. Kita memerlukan dasar pemikiran yang kuat.
Pada
kenyataannya, gerakan Islam di Indonesia kerap kali ditekan dengan menggunakan
Pancasila sebagai dalihnya. Para aktivis dan pergerakan Islam biasa disebut
‘Islamis’, sementara posisi seberangan ada golongan ‘nasionalis’ atau
‘pancasilais’.
Buya
Hamka, sebagai ulama-penulis yang sangat produktif banyak mengekspresikan
keprihatinannya pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ketika Pancasila selalu
dijadikan alasan untuk mengebiri hak-hak umat Muslim. Simaklah, misalnya,
kenjengkelan beliau dengan mengekspresikan dengan penuh amarah (padahal Hamka
dikenal dalam bertutur kata) dalam artikel yang berjudul “Pancasilais Munafik”:
“Bertahun-tahun lamanya dasar negara
Pancasila itu dipermainkan di ujung bibir dan telah dmuntahkan dari hati.
Menjadi isi dari pidato untuk orang banyak, tetapi dilanggar dalam tindakan
hidup sehari-hari, dipandang khianat orang lain yang dituduh tidak setia kepada
Pancasila, dan orang yang tidak berdaya itu tidak diberi kesempatan membuktikan
bahwa si penuduh itulah sebenarnya yang menjadikan Pancasila itu hanya
permainan bibir.”
Dalam
artikelnya, Buya Hamka tengah mengkritik keras Orde Lama, yang waktu itu baru
saja diruntuhkan dengan dibubarkannya Soekarno dari tampuk kekuasaan, ketika
itu, dua orang tokoh Orde Lama, yaitu Soebandrio dan Ysusf Muda Dalam, tengah
menjalani persidangan dan menghadapi tuntutan hukuman mati. Hamka sendiri
adalah tokoh yang secara langsung mengecap pahitnya kezaliman Orde Lama.
Sebagao seorang sastrawan Musliam, beliau merasakan langsung diskriminasi dan
permusuahan yang begitu keras dilancarkan oleh Lambaga Kesenian Rakyat (Lekra).
Sebagai tokoh ulama, beliau bahkan sempat mendekam di balik jeruji penjara
selama dua tahun dan mengikuti serangkaian interogasi yang panjang tanpa
persidangan sama sekali; semua karena tuduhan makar yang tidak ada buktinya
sama sekali.
Pada
masa Orde Baru, ironisnya Buya Hamka kembali menjadi ‘tokoh utama’ dalam
pergerakan Islam yang meresakan langsung kezaliman rejim berkuasa. Jika di awal
masa pemerintahannya Soeharto nampak begitu akomodatif dengan aspirasi umat
Muslim – salah satunya dengan mendirikan Majelis Ulama Indonesia dan secara
langsung meminta Hamka untuk menjadi ketua pertamanya – namun keadaan berubah
begitu cepat dengan munculnya seruan di instansi-instansi pemerintah untuk
merayakan Natal dan Idu Fitri secara berbarengan. MUI merespon tegas dengan mengeluarkan
fatwa haramnya perayaan Natal bersama. Akibatnya fatwa tersebut, Buya Hamka
ditekan habis-habisan dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dan menarik
fatwa tersebut dari peredaran. Hanya saja, menurut Hamka, dengan ditariknya
fatwanya tidak berlaku lagi. Hamka malah menegaskan pendapat pribadinya bahwa
fatwa itu sebenarnya masih sangat ringan. Sebab, mengikuti perayaan Natal, tapi
juga menyebabkan pelakunya menjadi murtad. Demikianlah pendapat Buya Hamka.
Dengan
meilhat sejarah yang demikian, memang tidak mudah bagi kita untuk mengatakan
bahwa Islam dan Pancasila bisa hidup berdampingan. Akan tetapi, sementara Islam
adalah ajaran yang diyakini komprehensif dan dapat dipastikan kemurnian
ajarannya, nampaknya Pancasila justru ‘pasrah’ di tangan para penafsirnya. Orde
Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan Pancasila untuk menekan pergerakan
Islam, namun keduanya memaknai Pancasila dengan cara yang berbeda.
Memaknai Pancasila
Debat mengenai dasar negara dalam Sidang Kontituante pada
tahun 1957 cukup menarik untk disimak. Dalam sidang tersebut, Masyumi kembali
mengajak bangsa Indonesia untuk mempertimbangkan Islam dan bukan Pancasila –
sebagai dasar negara.
Penolakan Masyumi terhadap Pancasila sebagai dasar negara
telah dikemukakan dengan sangat baik oleh Muhammad Natsir. Dalam orasinya,
Natsir menjelaskan bahwa Pancasila tidaklah mengakar dalam jiwa bangsa
Indonesia, sebab jauh sebelum Pancasila itu lahir, agama telah mewarnai isi
hati sanubari bangsa. Pada kesempatan itu Natsir menegaskan:
“Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah
kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah
mempunyai dan memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap dan hidup
dalam rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan
bathin, yakni Islam”.
Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah
ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vakum, tak berhawa.”
Kata-kata di atas diungkapkan oleh Natsir setelah
menggambarkan kontrasnya Pancasila dengan kondisi negara pada saat itu, di mana
Pancasila tidak memiliki sikap yang tegas pada aliran komunisme yang
anti-Tuhan, meskipun sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pancasila hendak dijadikan ‘netral’, sehingga akomodatif terhadap agama dan
komunisme sekaligus, padahal yang demikian itu tidaklah mungkin, dan
kenyataannya memang tidak pernah terwujud.
Meski
demikian, Natsir tidak serta-merta menolak Pancasila. Sebab dalam lanjutan
orasinya, beliau menyatakan pula:
Tidak ada satu pun dari lima sila yang
terumus dalam Pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila
saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara.
Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah yang
pasti, di mana pure concepts dari sila yang lima itu mendapat subtansi
yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.”
Dengan
kata lain, Natsir hendak mengatakan bahwa Pancasila pada hakikatnya adalah
sebuah konsep yang kosong belaka., yang bahkan tidak mampu menjelaskan dirinya
sendiri. Makna Pancasila dapat dipermainkan oleh siapa saja, sebab ia memang
tidak memiliki kelengkapan konseptual yang mapan. Tidak seperti Islam yang
memiliki pandangan yang jelas soal ketuhanan, misalnya, Pancasila justru dapat
dimanfaatkan untuk ideologi anti-Tuhan sebagaimana terjadi dalam masa Orde Lama
terdahulu.
Dalam
beberapa karya tulisnya, Buya Hamka pernah menggarisbawahi masalah pemaknaan
ini. Beliau mengingatkan bahwasannya Soekarno pernah mengatakan bahwa jika
Pancasila itu ‘diperas’, maka akhirnya dia menjadi satu prinsip saja, yakni
‘gotong royong’. Hamka sendiri menentang pendapat yang demikian. Sebagai
balasannya, beliau mengemukakan opini bahwa Pancasila tidak perlu ‘diperas’,
namun jika dicari urat tunggangnya, maka ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itulah yang
akan diemukan. Hal ini, menurut Buya Hamka, sejalan dengan logika berpikir umat
Muslim yang memahami segala sesuatunya dengan mengembalikannya pada sumbernya,
yaitu konsep ketuhanan.
M.
Naquib al-Alatas, cendekiawan Muslim asal Malaysia, menyatakan hal yang sama
ketika membicarakan the Worldview of
Islam (pandangan alam Islam), meskipun ia tidak sedang membicarakan
Pancasila. Bagi seorang Muslim, segala konsep yang dikenal dalam hidupnya
(konsep agama, kenabian, wahyyu, manusia, dan kemanusiaan, keadilan, dan
sebagainya) bersumber dari konsep ketuhanan. Oleh karena itu, konsep
kemanusiaan dalam pandangan orang sekuler atau ateis sangat berbeda dengan
konsep kemanusiaan dalam pandangan seorang Muslim yang taat dengan agamanya.
Maka
tidaklah mengherankan jika Soekarno merasa mampu ‘memeras’ Pancasila menjadi
‘gotong royong’, sedangkan Hamka tidak menggunakan istilah yang sama (yaitu
“memeras”) namun memahami sila pertama sebagai ‘akar tunggang’ dari Pancasila
itu sendiri. Semuanya bersumber dari Worldview
yang dijadikan pegangan oleh masing-masing. Fenomena ini menguatkan
pendapat Natsir di atas, melainkan justru dapat ditafsirkan dengan cara
berlawanan, tergantung menafsirkan siapa penafsirnya.
Pancasila dalam Pandangan Islam
Para pemimpin Masyumi yang berdebat alot dalam Sidang Konstituate
1957 tidaklah menyatakan Pancasila sebagai thaghut
(kecuali jika memang ada yang memposisikan demikian), tidak pula memberi saran
untuk menghapuskannya. Pancasila adalah kesepakatan antarelemen bangsa, meski
demikian, Pancasila tidaklah mampu menjelaskan kandungan maknanya sendiri,
sebab ia hanya terdiri atas lima sila yang begitu singkat.
Islam, sebaliknya adalah seperangkat konsep dan tata
nilai yang komprehensif. Tidak seperti Pancasila yang sangat terbuka untuk
ditafsirkan oleh siapa saja, Islam tidak dapat dimaknai semaunya. Meskipun ada
ruang untuk perbedaan pendapat, namun ada hal-hal yang prinsip tidak ada
perdebatan. Oleh karena itu, Islam memiliki kemampuan untuk menafsirkan
Pancasila, dan tidak sebaliknya. Itulah yang dimaksud Natsir ketika mengatakan
bahwa Pancasila justru akan mendapatkan ruh penggerak dari Islam. Dengan cara
itu, Pancasila akan benar-benar yang dapat dijabarkan dengan baik dalam tataran
praktis.
Dalam sila pertama, yaitu “ketuhanan Yang Maha Esa”,
terdapat konsep tauhid yang dapat dengan mudah dipahami oleh umat
Muslim. Menurut Buya Hamka, umat Muslimlah yang paling siap untuk menerima sila
pertama ini, dan mereka tak mungkin menentangnya. Segala-galanya didasari oleh
keyakinan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemerdekaan negeri ini pun sebagian
besarnya berasal dari kontribusi para mujahid
yang berjuang atas seruan agama; para ulama menyuruh mereka berjuang mengusir
penjajah, semangat jihad dikobarkan,
dan yang mereka teriakkan dalam perjuangan itu tidak lain adalah pekik takbir.
Bangsa Indonesia sadar sepenuhnya bahwa negeri ini berdaulat karenanya, mereka
tak bisa dipaksa-paksa untuk mengabaikan Tuhannya.
Sila kedua, yaitu “Kemanusian yang Adil dan Beradab”,
sanglah problematis. Bagi para penganut Hak Asasi Manusia (HAM) ala Barat,
homoseksualitas, aborsi tanpa syarat, berzina, mengkonsumsi minuman keras,
euthanasia, semuanya adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dilarang-larang.
Akan tetapi bagi seorang Muslim, hak-hak manusia adalah sepanjang yang
dibolehkan oleh agama. Demikian juga bagi rakyat Indonesia yang menyakini bahwa
Sila kedua ini hanya dapat dipahami dengan merujuk pada ‘akar tunggangnya’,
yaitu Sila pertama. Maka, kemanusiaan yang benar adalah kemanusiaan yang
berketuhanan, bukan yang mengabaikan Tuhan. Kata ‘adil’ dan ‘beradab’ pun
sangat multitafsir. Bagi kaum feminis, pembagian harta warisan yang setara
itulah yang adil. Bagi George W. Bush, invasi ke Irak dan Afghanistan tidak
lain untuk mengajari rakyat kedua negeri itu untuk beradab. Islam pun memiliki
konsep tersendiri soal keadilan dan adab, bahkan kedua istilah ini terambil
dari kosa kata Islam dalam bahasa Arab.
Selanjutnya, sila-sila yang lain pun dapat dimaknai
dengan baik jika menggunakan ‘kacamata islam’. Islam telah memiliki konsep yang
jelas tenatng persatuan dan nasionalisme, sehingga terhindar dari fanatisme
kebangsaan yang sempit. Islam juga mengajarkan caranya bermusyawarah yang baik,
juga menjelaskan hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan hal-hal yang harus
dirujuk pada aturan agama; dengan kata lain, musyawarah yang berketuhanan.
Tentu saja, Islam pun dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keadilan
sosial.
Permasalahan konseptual yang dimiliki oleh Pancasila bisa
menjadi bara dalam sekam, sehingga sejarah sangat mungkin berulang. Dari waktu
ke waktu, ada saja yang berusaha mempertentangkan antara Islam dengan
Pancasila. Ada yang membela Lady Gaga dengan alasan Indonesia bukan negara
agama, padahal tidak sedikit yang menolak artis yang sama dengan berpegang
teguh pada Pancasila yang justru mengakui otoritas agama sebagai smuber nilai
dalam kehidupan bernegara.
Tentunya,
kita tidak mengharapkan bangsa Indonesia terus larut dalam perdebatan ini.
Seharusnya semua orang bisa menjadi Muslim yang baik sekaligus Pancasilais yang
baik. Sudah semestinya Pancasila tidak mengambil posisi berseberangan dengan
islam yang menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dengan Islam, Pancasila
tidaklah mati, melainkan justru semakin hidup.Sumber : Majalah Al Intima'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar