Senin, 11 Maret 2013

Muharram Berdarah

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Peristiwa Penting di Bulan Muharram.
Sebelumnya Husain bin Ali menolak untuk membai’at Yazid bin Mu’awiyah Khalifah pengganti Mu’awiyah. Hal ini dikarenakan salah satu perjanjian antara Khalifah Hasan bin Ali dengan gubernur Mu’awiyah tidak dipenuhi. Salah satu isi perjanjian adalah perkara kepemimpinan ini sesudahnya menjadi wewenang musyawarah di kalangan kaum muslimin.
Kaum muslimin[1] dan beberapa shahabat telah membai’atnya. Shahabat yang membai’at Yazid ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Muhammad al-Hanafiyah[2]. Mereka melakukan hal itu disebabkan menghindari fitnah perpecahan dan menjaga kesatuan umat.
Perkara ini membuat Husain bin Ali terus bergerak. Di saat yang sama, beliau menjalin komunikasi dengan penduduk Irak, melalui surat menyurat. Setelah menerima surat-suratnya, yang berisi para tokoh Kufah memintanya datang kepada mereka. Husain mengutus beberapa orang untuk melihat keadaan dan kondisi Irak, apakah benar yang dikatakan orang-orang Irak. Muslim bin Aqil bin Abi Thalib[3] mengabarkan kepastian penduduk Irak menginginkan Husain datang kepada mereka. Setelah memperoleh informasi, maka tekad Husain semakin menjadi.
Mendengar tekad Husain pergi ke Kufah membuat beberapa shahabat dan tabi’in[4] segera bertindak untuk mencegahnya. Mereka menginginkan Husain tetap berada ditempat dan mengingatkan akan bahaya yang diperoleh setelahnya, seperti saudaranya, Hasan bin Ali. Dengan cara apapun tetap tidak bisa mengubah keinginan Husain pergi Kufah. Berikut ini kutipan sebagian nasehat dari beberapa shahabat kepada Husain.

Nasehat dari Muhammad bin al-Hanafiyah, “Saudaraku, engkau adalah orang yang paling aku cintai dan paling mulia bagiku. Aku tidak menyimpan sebuah nasihat bagi seorang makhluk pun yang lebih berhak atasnya dari dirimu. Menjauhlah dengan ba’iatmu dari Yazid bin Mu’awiyah dan dari kota-kota sebisamu, kemudian engkau bisa mengutus orang-orangmu kepada masyarakat dan ajaklah mereka untuk mendukungmu, bila mereka membai’atmu, maka engkau memuji Allah karena itu, namun bila orang-orang memilih orang lain, maka Allah tidak menurunkan agama dan akalmu. Muru’ahmu juga tidak hilang dan keutamaanmu tidak berkurang. Sesungguhnya aku takut bila engkau masuk ke salah satu dari kota-kota yang ada lalu engkau datang sekelompok orang dan mereka justru berselisih di antara mereka sendiri, ada yang mendukungmu namun ada pula yang memusuhimu, maka mereka dibunuh dan engkau menjadi korban ujung pedang pertama, dan ternyata orang terbaik dari umat ini dari sisi jiwa, bapak, dan ibunya menjadi orang yang paling tersia-siakan darahnya dan paling rendah keluarganya.”
Nasehat dari Abdullah bin Abbas, “Sepupuku, aku berusaha untuk sabar namun tidak bisa. Aku mengkhawatirkan keberangkatanmu ini adalah kebinasaanmu. Orang-orang Irak adalah orang-orang pengkhianat, jangan terkecoh oleh mereka. Tetaplah tinggal di sini sehingga orang-orang Irak itu membersihkan musuh-musuh mereka kemudian engkau datang kepada mereka, kalau tidak, maka berangkatlah ke Yaman, di sana banyak benteng dan celah-celah pengunungan di sana bapakmu mempunyai pendukung, hiduplah dengan menjauh dari orang-orang, tulislah surat kepada mereka dan kirimlah orang-orangmu pada mereka. Aku berharap hasilnya bila engkau melakukan hal itu adalah sebagaimana yang engka inginkan.”
Ibnu Abbas juga berkata, “Demi Allah yang tidak ada tuhan yang haq kecuali Dia, seandainya aku tahu bahwa bila aku memegang ubun-ubun dan kepalamu sehingga orang-orang berkumpul kepadaku dan kepadamu lalu engkau mau patuh kepadaku dan tidak berangkat, niscaya aku melakukannya.”
Keluarlah Husain bersama keluarganya serta enam tetua dari Kufah dari kota Makkah di hari Tarwiyah, 8 Dzuhijjah tahun 60 H. Di saat yang sama, gubernur Makkah, Amr bin Said bin al-Ash mengutus beberapa orang yang dipimpin oleh Yahya bin Said bin al-Ash untuk menahan langkah Husain. Namun Husain tetap bersikukuh untuk berangkat ke Kuffah.
Sementara itu gubernur Makkah dan Madinah, Marwan bin al-Hakam mengirim surat kepada gubernur Kuffah, Ubaidillah bin Ziyad. Surat itu berisi tentang larangan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Husain, serta memintanya untuk berhati-hati dalam bermuamalah dengan Husain[5].
Manakala Yazid mendengar Husain telah meninggalkan Makkah, dia memperingatkan Ubadillah bin Ziyad lewat surat,
“Aku telah mendengar bahwa Husain telah bergerak ke Kufah. Zamanmu diuji dengannya dari zaman-zaman yang lain, negerimu dari negeri-negeri yang lain, dan engkau diuji di antara para gubernur, saat itu kamu merdeka atau kembali menjadi hamba sahaya sebagaimana hamba diperbudak”.
Setelah itu Ubadillah bin Ziyad mengambil langkah-langkah keamanan, untuk mencegah bertemunya orang-orang Kufah dengan Husain. Langkah-langkah tersebut di antaranya; menyiapkan pasukan dibeberapa titik, seperti di Qadisiyah, antara Qadisiyah dengan Khafdhan[6], antara Qadisiyah dengan Qathqathan[7], serta antara Qadisiyah dengan La’la[8]. Kemudian menginstruksikan kepada Hushain untuk menangkap siapa saja yang tidak dikenal masuk ke wilayah Kufah, melewati Waqishah, dan jalan ke Bashrah.
Sementara itu, Husain tetap berjalan menuju ke Kufah meskipun keadaan yang terjadi telah berubah. Setibanya di di batas lembah ar-Rumah, beliau mengutus Qais bin Mushir ke Kufah dengan membawa surat serta mengabarkan kedatangan Husain ke Kufah, namun Hushain bin Tamim menangkap Qais setiba di Qadisiyah. Kemudian Hushain mengirimnya ke Ubadillah bin Ziyad, serta langsung membunuhnya. Melihat ketidakpastian, Husain mengirim Muslim bin Aqil, dan akhirnya tertangkap juga oleh Hushain, kemudian mengirimnya ke Ubaidillah bin Ziyad dan langsung dibunuh.
Langkah keras ini memberikan dampak pada hubungan antara Husain dengan penduduk Kufah. Mereka menyadari resiko yang besar ketika bergabung dengan Husain. Akhirnya Husain mempersilahkan penduduk Kufah untuk memilih antara pergi bersama beliau atau tidak. Adapun penduduk Kufah yang setia bersama Husain, mereka berjuang sampai penghabisan, sedangkan yang meninggalkan beliau, memilih bergabung dengan Ubaidillah.
Manakala Husain tiba di Karbala, beliau di kepung pasukan berkuda, yang dipimpin oleh Umar bin Saad bin Abi Waqash, yang didampingi oleh Syamr bin Dzi al-Jausyan dan Hushain at-Tamim. Awalnya Umar dan pasukannya berniat berperang ar-Ray untuk berjihad melawan orang-orang Dailam. Justru Ubaidillah memintanya untuk memerangi Husain dulu, dan umar menolak. Ubaidillah tak kehilangan akal, dia mengancam Umar akan dimakzulkan, dihancukan rumahnya, dan dibunuh. Dengan ancaman ini, akhirnya Umar tunduk.
Saat bertemu dengan Umar, Husain menunjukkan surat-surat yang berisi permintaan penduduk Kufah. Tak lama kemudian Umar mengirim surat kepada Ubadillah, menyampaikan apa yang diinginkan Husain. Ubaidillah langsung meresponnya, dia meminta Husain bersama orang-orangnya membaiat Yazid bin Muawiyah.
Manakala Umar membaca jawaban Ubaidillah, dia menyesali sikap Ubaidillah yang keras kepala. Dia sadar bahwa Ubadillah tidak menginginkan perdamaian. Di sisi lain Husain menolak tawaran Ubadillah. Keadaan semakin rumit dan genting, beliau meminta bertemu dengan Ubaidillah bin Ziyad. Husain sendiri memberikan beberapa alternatif kepada Umar bin Saad dan dia siap melakukan satu di antara tiga alternatif;
-          Membiarkannya pulang ke Madinah
-          Membiarkannya pergi ke Syam sehingga bisa meletakkan tangannya di tangan Yazid
-      Membiarkannya pergi sebuah ke perbatasan kaum muslimin dan menjadi salah seorang dari mereka, baginya hak yang sama dengan mereka dan kewajiban yang sama dengan mereka.
Awalnya Ubaidillah setuju dengan pengiriman Husain kepada Yazid, namun campur tangan Syamr bin Dzi al-Jausyan. Dia menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah meminta Husain tunduk dibawah keputusan Ubaidillah, sebagai pemegang urusan Husain, namun Husain menolak permintaan tunduk kepada Ubaidillah.
Suasana semakin memanas, Hari Jum’at tahun 61 H, Husain mengatur pasukannya, 32 pasukan berkuda dan 40 pasukan pasukan pejalan kaki. Husain menetapkan Zuhair bin al-Qain di sayap kanan, Hubaib bin Muzhahir di sayap kiri, menyerahkan panji kepada Abbas bin Ali dan meletakkan istri dan anak-anaknya di belakang.
Umar bin Saad menyiapkan pasukannya, sayap kanan dipimpin Amr bin al-Hajaj, sayap kiri dipimpin Syamr, pasukan berkuda dipimpin Azrah bin Qais, dan pasukan pejalan kaki dipimpin Syabt bin Rib’i serta menyerahkan panjinya kepada Dzuwaid mantan hamba sahayanya.
Pasukan dimulai dengan cepat, dibuka dengan duel satu lawan satu. Pasukan Husain memiliki jiwa yang tidak takut mati dan mereka tidak berharap lagi. Di awal Husain tidak terjun langsung, orang-orangnya yang membelanya. Manakala orang-orangnya berguguran, Husain berperang dengan keberanian luar biasa. Tak ada yang berani mendekat Husain sedikit pun, mereka tidak ingin memikul dosa membunuh Husain dan berharap Husain menyerahkan diri.
Melihat keberanian Husain, Syamr berteriak memerintahkan pasukannya untuk membunuh Husain. Maka mereka pun menyerangnya, Zur’ah bin Syarik at-Tamimi menebaskan pedangnya, kemudian Sinan bin Anas an-Nakha’i menusukkan tombaknya dan memenggal kepala Husain. Ada yang berpendapat yang membunuhnya adalah Amr bin Bathar at-Taghlibi, dan Zaid bin Rifadah al-Haini. Ada yang berkata bahwa yang mengeksekusi Husain adalah Syamr bin Dzi al-Jausyan sendiri. Lalu kepalanya dibawa kepada Ubaidillah bin Ziyad oleh Khauli bin Yazid al-Ashbahi.
Terbunuhnya Husain terjadi di hari kesepuluh Muharram tahun 61 H bersama 72 orang-orangnya. Keluarga Abu Thalib yang terbunuh bersama Husain, dari anak-anak Ali adalah Husain, Ja’far, Abbas, Muhammad dan Utsman. Dari anak-anak Husain adalah Ali al-Akbar dan Abdullah dan dari cucu Hasan ada Abdullah, al-Qasim, dan Abu Bakar. Dari anak-anak Aqil ada Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, Muslim bin Aqil yang terbunuh lebih dahulu di Kufah, dan Abdullah bin Muslim. Dari anak-anak Abdullah bin Ja’far ada Aun dan Muhammad. Total keluarga Rasulullah SAW yang terbunuh di Karbala ada delapan belah orang.
Manakala istri-istri dan anak-anak Husain tiba, Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan agar mereka ditempatkan di sebuah rumah khusus. Ubaidillah bin Ziyad menjamin kehidupan mereka, menetapkan nafkah dan pakaian mereka.
Selang beberapa hari, perasaan bersalah besar mulai memasuki dalam jiwanya, perasaan ini juga menggelayuti anggota keluarganya dan orang-orang dekatnya. Ibu Ubaidillah berkata kepadanya, Celaka kamu, apa yang kamu lakukan?. Utsman bin Ziyad, saudaranya berkata, Demi Allah, aku benar-benar berharap tidak ada seorang pun dari anak-anak Ziyad yang cocok hidungnya sampai Hari Kiamat, aku berharap Husain tidak dibunuh.
Istri dari Khauli bin Yazid, an-Nawwar bin Malik al-Hadhramiyah ikut mencela suaminya. An-Nawwar berkata, “Celaka engkau. Orang-orang pulang membawa emas dan perak, tetapi engkau malah membawa kepala cucu Rasulullah SAW? Demi Allah, tidak ada rumah yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepalamu selamanya”.
Manakala berita sampai kepada Yazid, dia menangis dan berkata, “Aku sudah menerima ketaatan kalian wahai orang-orang Irak tanpa harus membunuh Husain, inilah akibat pelanggaran dan pertentangan. Allah melaknat Ibnu Murjanah, sungguh dia telah mendapatinya jauh dari menjalin rahim. Demi Allah, seandainya aku adalah orangnya, maka aku akan memaafkannya. Semoga Allah merahmatinya Husain.”
Saat keluarga Husain tiba di depan Yazid, Fathimah binti Husain berkata kepada Yazid, “Wahai Yazid, apakah cucu-cucu Rasulullah adalah tawanan”, Yazid menjawab, Tidak, akan tetapi wanita-wanita merdeka yang mulia. Pergilah kepada putri-putri pamanmu, niscaya kamu melihat mereka melakukan apa yang aku lakukan. “Fathimah berkata, Maka aku masuk kepada mereka, aku tidak melihat putri Abu Sufyan kecuali dia menangis”.
Kemudian Ali al-Ashghar bin Husain datang Damaskus[9], berkata kepada Yazid, “Sesungguhnya bapakmu memutuskan rahimku dan menzhalimiku, maka Allah melakukan terhadapnya apa yang engkau lihat.” Dalam perang Karbala, Ali bin Husain tidak hadir karena dia terbaring sakit.
Yazid bin Muawiyah berkata kepada Ali bin Husain, “Bila engkau ingin tinggal di sisi kami, kami akan menyambung rahimmu dan mengetahui hakmu, maka silahkan. Akan tetapi Ai bin Husain memilih pulang ke Madinah, begitu juga dengan istri-istri dan anak-anak yang lain. Saat mereka meninggalkan Damaskus, Yazid tidak henti-hentinya meminta maaf kepada Ali bin Husain.
Ibnu Katsir berkata tentang Yazid, “Dia memuliakan keluarga Husain, dia mengembalikan segala yang hilang dari mereka bahkan melipatgandakannya. Memulangkan mereka ke Madinah dalam sebuah rombongan kehormatan yang besar. Keluarga Yazid turut berduka atas kematian Husain.”

Siapa yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib??
Orang-Orang Kufah
Mereka yang telah menulis surat kepada Husain bin Ali, agar keluar menuju kufah dan mereka siap menjadi pendukung setia. Manakala Ubadillah diangkat menjadi gubernur Kufah, orang-orang yang mendukung dan menyokong Husain mulai mundur, lebih dari itu mereka malah bergabung dengan pasukan yang memerangi dan membunuh Husain.
Manakala Husain bersama orang-orangnya berhadapan dengan pasukan Kufah, Husain memanggil tokoh-tokoh Kufah dan berkata kepada mereka, “Wahai Syabts bin Rab’i, wahai Hajar bin Abjar, wahai Qais bin al-Asy’ats, wahai Yazid bin al-Harits, bukankah kalian sudah menulis surat kepadaku bahwa buah sudah matang, kurma sudah masak dan anggur sudah ranum, kamu hanya maju kepada pasukan yang bersenjata yang ada di pihakmu. Maka datanglah. Mereka menjawab, ‘Tidak, kami tidak melakukan.’ Husain berkata, ‘Subhanallah, benar demi Allah, kalian telah melakukan’. Kemudian Husain berkata, ‘Wahai orang-orang, bila kalian tidak menyukaiku maka biarkan aku pulang ke tempatku yang aman’.”
Begitu juga perkataan sahabat, mereka menuduh orang-orang Irak telah berkhianat. Ummu Salamah melaknat orang-orang Irak saat mendengar Husain terbunuh di Karbala, dia berkata, ‘Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka, mereka menipu dan berdsuta terhadapnya. Semoga Allah melaknat mereka.’
Senada dengan Ummu Salamah, Ibnu Umar mengatakan kepada orang-orang Irak di saat mereka bertanya tentang darah nyamuk sewaktu Ihram. Beliau berkata, ‘Sungguh aneh kalian ini wahai orang-orang Irak. Kalian telah membunuh cucu Rasulullah SAW dan bertanya kepadaku tentang darah nyamuk.’

Ubaidillah bin Ziyad
                Dialah Gubernur pengganti an-Nu’man bin Basyir setelah dimakzulkan. Dia yang membunuh Muslim bin Aqil, wakil Husain di Kufah serta pendukung utama, Hani bin Urwah tokoh kabilah Murad. Keputusan untuk membunuh keduanya, menurut Yazid adalah tepat bahkan takjub dengan perilaku Ubadillah.
                 Ubaidillah bin Ziyad pernah didatangi oleh Aidz bin Amr al–Muzani, shahabat Nabi SAW, beliau berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad,
‘Anakku, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya pemimpin yang paling buruk adalah pemimpin yang kasar (bengis). Maka janganlah kamu termasuk di antara mereka.’ Maka Ubaidillah menjawab, Duduklah, kamu ini hanyalah orang rendahan dari shahabat Muhammad SAW. Maka Aidz berkata, Adakah pada mereka orang rendahan?’. Sesungguhnya orang rendahan hanya ada pada sesudah dan selain mereka.’
Sepatutnya dia merespon tawaran Husain dengan baik, membiarkan pergi ke Damaskus, untuk bertemu dengan Yazid atau ke tempat lain, selain Kufah.
Imam Adz-Dzahabi berkata dalam biografi Ubaidillah bin Ziyad, “Orang-orang syiah tidak akan hidup tenang tanpa melaknat laki-laki ini dan orang-orang dibawahnya. Sementara kami membencinya karena Allah, berlepas diri dari mereka, tetapi tidak melaknat mereka; perkara mereka kembali kepada Allah.”
  
Umar bin Saad bin Abi Waqash
                Dialah panglima pasukan Ubadillah bin Ziyad. Dia menjalankan perintah gubernur, Ubaidillah bin Ziyad karena takut dimakzulkan, dibakar rumahnya serta dibunuh. Sebelumnya dia menolak melawan Husain. Selanjutnya dia meminta pendapat kepada orang-orang dan semuannya mengusulkan untuk tidak berangkat memerangi Husain. Anak saudara perempuannya, Hamzah bin al-Muhgirah bin Syu’bah, berkata kepadanya, ‘aku memohon kepadamu wahai paman dengan nama Allah, jangan berangkat ke Husain, karena dengan itu engkau akan memikul dosa di depan Tuhanmu. Demi Allah, seandainya engkau memiliki kekuasaan sepenuh jagat dan harta yang juga sepenuh jagat, lalu semuanya lenyap dari tanganmu, niscaya hal itu leih baik daripada engkau harus memikul darah Husain di depan Allah.’
   
Yazid bin Muawiyah
                Tanggung jawab Yazid terhadap terbunuhnya Husain tetap tegak. Bagaimana tidak, sementara Husain terbunuh pada masa kekhalifahannya dan bumi dikuasai oleh bala tentaranya. Seperti yang dikatakan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khatab, kalau ada himar yang terpeleset di jalan-jalan Irak dan Syam, maka Umar akan ditanya oleh Allah ta’ala, mengapa kamu tidak membangun jalan-jalan di Irak.  
Wallahu alam bishowab
 
Diringkas dari Buku, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan penulis Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi serta diterbitkan oleh Penerbit Darul Haq.


[1] Penduduk Irak, Syam, dan kota-kota lainnya
[2] Shahabat yang tidak membai’at adalah Husain bin Ali, dan Abdullah bin Zubair, termasuk Gubernur Madinah al-Walid bin Utbah bin Abu Sufyan. Dan akhirnya gubernur Madinah dimakzulkan, diganti oleh Marwan al-Hakam
[3] Salah satu yang diutus oleh Husain bin Ali dan sekaligus sepupu beliau.
[4] Muhammad al-Hanafiyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said  al Khudri, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Ja’far, Abu Waqid al-Laitsi, Amrah binti Abdurrahman, Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits, Abdullah bin Muthi’, Sa’id bin Musayyib dan Amr bin Said bin al-Ash, dan Al Farazdaq 
[5] Berikut isi surat Amr bin Said, “Amma ba’du, Husain telah berangkat kepadamu, dalam peristiwa ini kamu dimerdekakan atau kembali menjadi hamba yang diperbudak seperti hamba-hamba sahaya diperbudak”
[6] Mungkin Kaffan, sebuah tempat dekat Kufah yang terkadang dilalui jamaah haji
[7] Tempak dekat Kufah dari arah padang pasir dekat Qadisiyah
[8] Tempat singgah antara Bashrah dengan Kufah, yang jaraknya dua puluh mil.
[9] Beliau tidak ikut perang, karena saat itu sedang sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar