Tulisan ini
merupakan kelanjutan dari Peristiwa Penting di Bulan Muharram.
Sebelumnya Husain bin Ali menolak untuk membai’at Yazid bin Mu’awiyah
Khalifah pengganti Mu’awiyah. Hal ini dikarenakan salah satu perjanjian antara
Khalifah Hasan bin Ali dengan gubernur Mu’awiyah tidak dipenuhi. Salah satu isi
perjanjian adalah perkara kepemimpinan ini sesudahnya menjadi wewenang
musyawarah di kalangan kaum muslimin.
Kaum muslimin[1] dan
beberapa shahabat telah membai’atnya. Shahabat yang membai’at Yazid ialah
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Muhammad al-Hanafiyah[2].
Mereka melakukan hal itu disebabkan menghindari fitnah perpecahan dan menjaga
kesatuan umat.
Perkara ini membuat Husain bin Ali terus bergerak. Di saat yang sama,
beliau menjalin komunikasi dengan penduduk Irak, melalui surat menyurat.
Setelah menerima surat-suratnya, yang berisi para tokoh Kufah memintanya datang
kepada mereka. Husain mengutus beberapa orang untuk melihat keadaan dan kondisi
Irak, apakah benar yang dikatakan orang-orang Irak. Muslim bin Aqil bin Abi
Thalib[3]
mengabarkan kepastian penduduk Irak menginginkan Husain datang kepada mereka.
Setelah memperoleh informasi, maka tekad Husain semakin menjadi.
Mendengar tekad Husain pergi ke Kufah membuat beberapa shahabat dan tabi’in[4]
segera bertindak untuk mencegahnya. Mereka menginginkan Husain tetap berada
ditempat dan mengingatkan akan bahaya yang diperoleh setelahnya, seperti
saudaranya, Hasan bin Ali. Dengan cara apapun tetap tidak bisa mengubah
keinginan Husain pergi Kufah. Berikut ini kutipan sebagian nasehat dari beberapa
shahabat kepada Husain.
Nasehat dari Muhammad bin al-Hanafiyah, “Saudaraku, engkau adalah orang
yang paling aku cintai dan paling mulia bagiku. Aku tidak menyimpan sebuah
nasihat bagi seorang makhluk pun yang lebih berhak atasnya dari dirimu.
Menjauhlah dengan ba’iatmu dari Yazid bin Mu’awiyah dan dari kota-kota
sebisamu, kemudian engkau bisa mengutus orang-orangmu kepada masyarakat dan ajaklah
mereka untuk mendukungmu, bila mereka membai’atmu, maka engkau memuji Allah
karena itu, namun bila orang-orang memilih orang lain, maka Allah tidak
menurunkan agama dan akalmu. Muru’ahmu
juga tidak hilang dan keutamaanmu tidak berkurang. Sesungguhnya aku takut bila
engkau masuk ke salah satu dari kota-kota yang ada lalu engkau datang
sekelompok orang dan mereka justru berselisih di antara mereka sendiri, ada
yang mendukungmu namun ada pula yang memusuhimu, maka mereka dibunuh dan engkau
menjadi korban ujung pedang pertama, dan ternyata orang terbaik dari umat ini
dari sisi jiwa, bapak, dan ibunya menjadi orang yang paling tersia-siakan
darahnya dan paling rendah keluarganya.”
Nasehat dari Abdullah bin Abbas, “Sepupuku, aku berusaha untuk sabar namun tidak
bisa. Aku mengkhawatirkan keberangkatanmu ini adalah kebinasaanmu. Orang-orang
Irak adalah orang-orang pengkhianat, jangan terkecoh oleh mereka. Tetaplah
tinggal di sini sehingga orang-orang Irak itu membersihkan musuh-musuh mereka
kemudian engkau datang kepada mereka, kalau tidak, maka berangkatlah ke Yaman,
di sana banyak benteng dan celah-celah pengunungan di sana bapakmu mempunyai
pendukung, hiduplah dengan menjauh dari orang-orang, tulislah surat kepada
mereka dan kirimlah orang-orangmu pada mereka. Aku berharap hasilnya bila
engkau melakukan hal itu adalah sebagaimana yang engka inginkan.”
Ibnu Abbas juga berkata, “Demi Allah yang tidak ada tuhan yang haq kecuali
Dia, seandainya aku tahu bahwa bila aku memegang ubun-ubun dan kepalamu
sehingga orang-orang berkumpul kepadaku dan kepadamu lalu engkau mau patuh
kepadaku dan tidak berangkat, niscaya aku melakukannya.”
Keluarlah Husain bersama keluarganya serta enam tetua dari Kufah dari kota
Makkah di hari Tarwiyah, 8 Dzuhijjah tahun 60 H. Di saat yang sama, gubernur
Makkah, Amr bin Said bin al-Ash mengutus beberapa orang yang dipimpin oleh
Yahya bin Said bin al-Ash untuk menahan langkah Husain. Namun Husain tetap
bersikukuh untuk berangkat ke Kuffah.
Sementara itu gubernur Makkah dan Madinah, Marwan bin al-Hakam mengirim
surat kepada gubernur Kuffah, Ubaidillah bin Ziyad. Surat itu berisi tentang
larangan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Husain, serta memintanya untuk
berhati-hati dalam bermuamalah dengan Husain[5].
Manakala Yazid mendengar Husain telah meninggalkan Makkah, dia
memperingatkan Ubadillah bin Ziyad lewat surat,
“Aku telah mendengar bahwa Husain
telah bergerak ke Kufah. Zamanmu diuji dengannya dari zaman-zaman yang lain,
negerimu dari negeri-negeri yang lain, dan engkau diuji di antara para
gubernur, saat itu kamu merdeka atau kembali menjadi hamba sahaya sebagaimana
hamba diperbudak”.
Setelah itu Ubadillah bin Ziyad mengambil langkah-langkah keamanan, untuk
mencegah bertemunya orang-orang Kufah dengan Husain. Langkah-langkah tersebut
di antaranya; menyiapkan pasukan dibeberapa titik, seperti di Qadisiyah, antara
Qadisiyah dengan Khafdhan[6],
antara Qadisiyah dengan Qathqathan[7],
serta antara Qadisiyah dengan La’la[8].
Kemudian menginstruksikan kepada Hushain untuk menangkap siapa saja yang tidak
dikenal masuk ke wilayah Kufah, melewati Waqishah, dan jalan ke Bashrah.
Sementara itu, Husain tetap berjalan menuju ke Kufah meskipun keadaan yang
terjadi telah berubah. Setibanya di di batas lembah ar-Rumah, beliau mengutus
Qais bin Mushir ke Kufah dengan membawa surat serta mengabarkan kedatangan
Husain ke Kufah, namun Hushain bin Tamim menangkap Qais setiba di Qadisiyah.
Kemudian Hushain mengirimnya ke Ubadillah bin Ziyad, serta langsung
membunuhnya. Melihat ketidakpastian, Husain mengirim Muslim bin Aqil, dan akhirnya
tertangkap juga oleh Hushain, kemudian mengirimnya ke Ubaidillah bin Ziyad dan
langsung dibunuh.
Langkah keras ini memberikan dampak pada hubungan antara Husain dengan
penduduk Kufah. Mereka menyadari resiko yang besar ketika bergabung dengan
Husain. Akhirnya Husain mempersilahkan penduduk Kufah untuk memilih antara
pergi bersama beliau atau tidak. Adapun penduduk Kufah yang setia bersama
Husain, mereka berjuang sampai penghabisan, sedangkan yang meninggalkan beliau,
memilih bergabung dengan Ubaidillah.
Manakala Husain tiba di Karbala, beliau di kepung pasukan berkuda, yang
dipimpin oleh Umar bin Saad bin Abi Waqash, yang didampingi oleh Syamr bin Dzi
al-Jausyan dan Hushain at-Tamim. Awalnya Umar dan pasukannya berniat berperang
ar-Ray untuk berjihad melawan orang-orang Dailam. Justru Ubaidillah memintanya
untuk memerangi Husain dulu, dan umar menolak. Ubaidillah tak kehilangan akal,
dia mengancam Umar akan dimakzulkan, dihancukan rumahnya, dan dibunuh. Dengan
ancaman ini, akhirnya Umar tunduk.
Saat bertemu dengan Umar, Husain menunjukkan surat-surat yang berisi
permintaan penduduk Kufah. Tak lama kemudian Umar mengirim surat kepada
Ubadillah, menyampaikan apa yang diinginkan Husain. Ubaidillah langsung
meresponnya, dia meminta Husain bersama orang-orangnya membaiat Yazid bin
Muawiyah.
Manakala Umar membaca jawaban Ubaidillah, dia menyesali sikap Ubaidillah
yang keras kepala. Dia sadar bahwa Ubadillah tidak menginginkan perdamaian. Di
sisi lain Husain menolak tawaran Ubadillah. Keadaan semakin rumit dan genting,
beliau meminta bertemu dengan Ubaidillah bin Ziyad. Husain sendiri memberikan
beberapa alternatif kepada Umar bin Saad dan dia siap melakukan satu di antara
tiga alternatif;
-
Membiarkannya
pulang ke Madinah
-
Membiarkannya
pergi ke Syam sehingga bisa meletakkan tangannya di tangan Yazid
- Membiarkannya
pergi sebuah ke perbatasan kaum muslimin dan menjadi salah seorang dari mereka,
baginya hak yang sama dengan mereka dan kewajiban yang sama dengan mereka.
Awalnya Ubaidillah setuju dengan pengiriman Husain kepada Yazid, namun
campur tangan Syamr bin Dzi al-Jausyan. Dia menyatakan bahwa pendapat yang
benar adalah meminta Husain tunduk dibawah keputusan Ubaidillah, sebagai
pemegang urusan Husain, namun Husain menolak permintaan tunduk kepada Ubaidillah.
Suasana semakin memanas, Hari Jum’at tahun 61 H, Husain mengatur
pasukannya, 32 pasukan berkuda dan 40 pasukan pasukan pejalan kaki. Husain
menetapkan Zuhair bin al-Qain di sayap kanan, Hubaib bin Muzhahir di sayap
kiri, menyerahkan panji kepada Abbas bin Ali dan meletakkan istri dan
anak-anaknya di belakang.
Umar bin Saad menyiapkan pasukannya, sayap kanan dipimpin Amr bin al-Hajaj,
sayap kiri dipimpin Syamr, pasukan berkuda dipimpin Azrah bin Qais, dan pasukan
pejalan kaki dipimpin Syabt bin Rib’i serta menyerahkan panjinya kepada Dzuwaid
mantan hamba sahayanya.
Pasukan dimulai dengan cepat, dibuka dengan duel satu lawan satu. Pasukan
Husain memiliki jiwa yang tidak takut mati dan mereka tidak berharap lagi. Di
awal Husain tidak terjun langsung, orang-orangnya yang membelanya. Manakala
orang-orangnya berguguran, Husain berperang dengan keberanian luar biasa. Tak
ada yang berani mendekat Husain sedikit pun, mereka tidak ingin memikul dosa
membunuh Husain dan berharap Husain menyerahkan diri.
Melihat keberanian Husain, Syamr berteriak memerintahkan pasukannya untuk
membunuh Husain. Maka mereka pun menyerangnya, Zur’ah bin Syarik at-Tamimi
menebaskan pedangnya, kemudian Sinan bin Anas an-Nakha’i menusukkan tombaknya
dan memenggal kepala Husain. Ada yang berpendapat yang membunuhnya adalah Amr
bin Bathar at-Taghlibi, dan Zaid bin Rifadah al-Haini. Ada yang berkata bahwa
yang mengeksekusi Husain adalah Syamr bin Dzi al-Jausyan sendiri. Lalu
kepalanya dibawa kepada Ubaidillah bin Ziyad oleh Khauli bin Yazid al-Ashbahi.
Terbunuhnya Husain terjadi di hari kesepuluh Muharram tahun 61 H bersama 72
orang-orangnya. Keluarga Abu Thalib yang terbunuh bersama Husain, dari
anak-anak Ali adalah Husain, Ja’far, Abbas, Muhammad dan Utsman. Dari anak-anak
Husain adalah Ali al-Akbar dan Abdullah dan dari cucu Hasan ada Abdullah,
al-Qasim, dan Abu Bakar. Dari anak-anak Aqil ada Ja’far, Abdullah, Abdurrahman,
Muslim bin Aqil yang terbunuh lebih dahulu di Kufah, dan Abdullah bin Muslim.
Dari anak-anak Abdullah bin Ja’far ada Aun dan Muhammad. Total keluarga
Rasulullah SAW yang terbunuh di Karbala ada delapan belah orang.
Manakala istri-istri dan anak-anak Husain tiba, Ubaidillah bin Ziyad
memerintahkan agar mereka ditempatkan di sebuah rumah khusus. Ubaidillah bin
Ziyad menjamin kehidupan mereka, menetapkan nafkah dan pakaian mereka.
Selang beberapa hari, perasaan bersalah besar mulai memasuki dalam jiwanya,
perasaan ini juga menggelayuti anggota keluarganya dan orang-orang dekatnya.
Ibu Ubaidillah berkata kepadanya, Celaka kamu, apa yang kamu lakukan?. Utsman
bin Ziyad, saudaranya berkata, Demi Allah, aku benar-benar berharap tidak ada
seorang pun dari anak-anak Ziyad yang cocok hidungnya sampai Hari Kiamat, aku
berharap Husain tidak dibunuh.
Istri dari Khauli bin Yazid, an-Nawwar bin Malik al-Hadhramiyah ikut
mencela suaminya. An-Nawwar berkata, “Celaka engkau. Orang-orang pulang membawa
emas dan perak, tetapi engkau malah membawa kepala cucu Rasulullah SAW? Demi
Allah, tidak ada rumah yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepalamu
selamanya”.
Manakala berita sampai kepada Yazid, dia menangis dan berkata, “Aku sudah
menerima ketaatan kalian wahai orang-orang Irak tanpa harus membunuh Husain,
inilah akibat pelanggaran dan pertentangan. Allah melaknat Ibnu Murjanah,
sungguh dia telah mendapatinya jauh dari menjalin rahim. Demi Allah, seandainya
aku adalah orangnya, maka aku akan memaafkannya. Semoga Allah merahmatinya
Husain.”
Saat keluarga Husain tiba di depan Yazid, Fathimah binti Husain berkata
kepada Yazid, “Wahai Yazid, apakah cucu-cucu Rasulullah adalah tawanan”, Yazid
menjawab, Tidak, akan tetapi wanita-wanita merdeka yang mulia. Pergilah kepada
putri-putri pamanmu, niscaya kamu melihat mereka melakukan apa yang aku
lakukan. “Fathimah berkata, Maka aku masuk kepada mereka, aku tidak melihat
putri Abu Sufyan kecuali dia menangis”.
Kemudian Ali al-Ashghar bin Husain datang Damaskus[9],
berkata kepada Yazid, “Sesungguhnya bapakmu memutuskan rahimku dan
menzhalimiku, maka Allah melakukan terhadapnya apa yang engkau lihat.” Dalam
perang Karbala, Ali bin Husain tidak hadir karena dia terbaring sakit.
Yazid bin Muawiyah berkata kepada Ali bin Husain, “Bila engkau ingin
tinggal di sisi kami, kami akan menyambung rahimmu dan mengetahui hakmu, maka
silahkan. Akan tetapi Ai bin Husain memilih pulang ke Madinah, begitu juga
dengan istri-istri dan anak-anak yang lain. Saat mereka meninggalkan Damaskus,
Yazid tidak henti-hentinya meminta maaf kepada Ali bin Husain.
Ibnu Katsir berkata tentang Yazid, “Dia memuliakan keluarga Husain, dia mengembalikan
segala yang hilang dari mereka bahkan melipatgandakannya. Memulangkan mereka ke
Madinah dalam sebuah rombongan kehormatan yang besar. Keluarga Yazid turut
berduka atas kematian Husain.”
Siapa yang bertanggung jawab atas terbunuhnya
Husain bin Ali bin Abi Thalib??
Orang-Orang Kufah
Mereka yang telah menulis surat kepada Husain bin Ali, agar keluar menuju
kufah dan mereka siap menjadi pendukung setia. Manakala Ubadillah diangkat
menjadi gubernur Kufah, orang-orang yang mendukung dan menyokong Husain mulai
mundur, lebih dari itu mereka malah bergabung dengan pasukan yang memerangi dan
membunuh Husain.
Manakala Husain bersama orang-orangnya berhadapan dengan pasukan Kufah,
Husain memanggil tokoh-tokoh Kufah dan berkata kepada mereka, “Wahai Syabts bin
Rab’i, wahai Hajar bin Abjar, wahai Qais bin al-Asy’ats, wahai Yazid bin
al-Harits, bukankah kalian sudah menulis surat kepadaku bahwa buah sudah
matang, kurma sudah masak dan anggur sudah ranum, kamu hanya maju kepada
pasukan yang bersenjata yang ada di pihakmu. Maka datanglah. Mereka menjawab,
‘Tidak, kami tidak melakukan.’ Husain berkata, ‘Subhanallah, benar demi Allah,
kalian telah melakukan’. Kemudian Husain berkata, ‘Wahai orang-orang, bila
kalian tidak menyukaiku maka biarkan aku pulang ke tempatku yang aman’.”
Begitu juga perkataan sahabat, mereka menuduh orang-orang Irak telah
berkhianat. Ummu Salamah melaknat orang-orang Irak saat mendengar Husain
terbunuh di Karbala, dia berkata, ‘Mereka telah membunuhnya semoga Allah
membunuh mereka, mereka menipu dan berdsuta terhadapnya. Semoga Allah melaknat
mereka.’
Senada dengan Ummu Salamah, Ibnu Umar mengatakan kepada orang-orang Irak di
saat mereka bertanya tentang darah nyamuk sewaktu Ihram. Beliau berkata,
‘Sungguh aneh kalian ini wahai orang-orang Irak. Kalian telah membunuh cucu
Rasulullah SAW dan bertanya kepadaku tentang darah nyamuk.’
Ubaidillah bin Ziyad
Dialah Gubernur pengganti an-Nu’man bin Basyir
setelah dimakzulkan. Dia yang membunuh Muslim bin Aqil, wakil Husain di Kufah
serta pendukung utama, Hani bin Urwah tokoh kabilah Murad. Keputusan untuk
membunuh keduanya, menurut Yazid adalah tepat bahkan takjub dengan perilaku
Ubadillah.
Ubaidillah bin Ziyad pernah didatangi oleh
Aidz bin Amr al–Muzani, shahabat Nabi SAW, beliau berkata kepada Ubaidillah bin
Ziyad,
‘Anakku, sesungguhnya aku telah
mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya pemimpin yang paling buruk
adalah pemimpin yang kasar (bengis). Maka janganlah kamu termasuk di antara
mereka.’ Maka Ubaidillah menjawab, Duduklah, kamu ini hanyalah orang rendahan
dari shahabat Muhammad SAW. Maka Aidz berkata, Adakah pada mereka orang
rendahan?’. Sesungguhnya orang rendahan hanya ada pada sesudah dan selain
mereka.’
Sepatutnya dia merespon tawaran Husain dengan baik, membiarkan pergi ke
Damaskus, untuk bertemu dengan Yazid atau ke tempat lain, selain Kufah.
Imam Adz-Dzahabi berkata dalam biografi Ubaidillah bin Ziyad, “Orang-orang
syiah tidak akan hidup tenang tanpa melaknat laki-laki ini dan orang-orang
dibawahnya. Sementara kami membencinya karena Allah, berlepas diri dari mereka,
tetapi tidak melaknat mereka; perkara mereka kembali kepada Allah.”
Umar bin Saad bin Abi Waqash
Dialah panglima pasukan Ubadillah bin Ziyad. Dia
menjalankan perintah gubernur, Ubaidillah bin Ziyad karena takut dimakzulkan,
dibakar rumahnya serta dibunuh. Sebelumnya dia menolak melawan Husain. Selanjutnya
dia meminta pendapat kepada orang-orang dan semuannya mengusulkan untuk tidak
berangkat memerangi Husain. Anak saudara perempuannya, Hamzah bin al-Muhgirah
bin Syu’bah, berkata kepadanya, ‘aku memohon kepadamu wahai paman dengan nama
Allah, jangan berangkat ke Husain, karena dengan itu engkau akan memikul dosa
di depan Tuhanmu. Demi Allah, seandainya engkau memiliki kekuasaan sepenuh
jagat dan harta yang juga sepenuh jagat, lalu semuanya lenyap dari tanganmu,
niscaya hal itu leih baik daripada engkau harus memikul darah Husain di depan
Allah.’
Yazid bin Muawiyah
Tanggung jawab Yazid terhadap terbunuhnya Husain
tetap tegak. Bagaimana tidak, sementara Husain terbunuh pada masa
kekhalifahannya dan bumi dikuasai oleh bala tentaranya. Seperti yang dikatakan
oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khatab, kalau ada himar yang terpeleset di
jalan-jalan Irak dan Syam, maka Umar akan ditanya oleh Allah ta’ala, mengapa
kamu tidak membangun jalan-jalan di Irak.
Wallahu alam bishowab
Diringkas dari Buku, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan penulis Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi serta diterbitkan oleh Penerbit Darul Haq.
[2] Shahabat yang tidak membai’at adalah Husain bin Ali, dan Abdullah
bin Zubair, termasuk Gubernur Madinah al-Walid bin Utbah bin Abu Sufyan. Dan
akhirnya gubernur Madinah dimakzulkan, diganti oleh Marwan al-Hakam
[4] Muhammad al-Hanafiyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abdullah
bin Zubair, Abu Said al Khudri, Jabir
bin Abdullah, Abdullah bin Ja’far, Abu Waqid al-Laitsi, Amrah binti Abdurrahman,
Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits, Abdullah bin Muthi’, Sa’id bin
Musayyib dan Amr bin Said bin al-Ash, dan Al Farazdaq
[5] Berikut isi surat Amr bin Said, “Amma ba’du, Husain telah berangkat kepadamu, dalam peristiwa ini kamu
dimerdekakan atau kembali menjadi hamba yang diperbudak seperti hamba-hamba
sahaya diperbudak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar